Wellcome Rektor Impor

Universitas Indonesia, misalnya. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013 disebutkan bahwa syarat utama rektor adalah warga negara Indonesia.

Kemudian, PP 52/2015 tentang Statuta Undip menyatakan bahwa seorang rektor harus WNI, dosen Undip, dan berstatus pegawai negeri sipil. Begitu pula dengan statuta Universitas Gadjah Mada.

“Ini masalah. Karena itu, harus kita perbaiki peraturan pemerintah itu,” ujar Nasir.

Di sisi lain, menteri 59 tahun tersebut mengaku pernah di-bully oleh forum rektor saat kali pertama memaparkan wacana program rektor asing pada 2016.

“Dianggap nanti kita inlander (ejekan orang Belanda untuk kaum pribumi, Red), dijajah, dan sebagainya,” ungkap dia.

Tapi, cercaan itu tidak menyurutkan semangatnya. Justru tahun ini dia lebih galak.

Nasir berpedoman, kalau tidak ada kompetisi, tidak ada daya saing. “Ini era di mana kita harus berani berkompetisi,” imbuhnya.

Sementara itu, wacana impor rektor memantik perhatian para guru besar (gubes) di Indonesia.

Salah satunya Prof Kacung Marijan, gubes ilmu politik Universitas Airlangga (Unair).

Menurut dia, rencana impor rektor tersebut adalah implikasi dari kompetisi yang kuat antar perguruan tinggi (PT) dunia.

Menurut dia, rektor memang salah satu hal penting dari keseluruhan sistem pengelolaan PT. Namun, ada yang lebih penting dari itu. Yakni, pengelolaan ekosistem di dalam PT.

“Yang penting ekosistemnya dulu. Kalau ekosistem sudah bagus, baru memungkinkan untuk berkompetisi dengan yang lainnya,” kata Kacung kemarin.

Kacung menyatakan, saat ini pemerintah baru membangun ekosistem. Itu pun belum cukup bagus untuk pertumbuhan PT yang baik. Bisa saja ketika mendatangkan rektor asing dan ekosistemnya tidak bagus, PT tetap tidak berkembang. “Sekarang pemerintah itu mau ekosistem yang seperti apa? Apakah kita mau mengikuti Jerman, Singapura, Malaysia, Eropa, atau Belanda?” ujarnya sebagaimana dilansir dari jpnn.com

Di Jerman seluruh biaya PT ditanggung pemerintah. Mulai riset hingga perkuliahan. Kemudian, di Australia biaya pendidikan untuk warga lokal lebih kecil dan warga asing lebih mahal. “Jadi, harus membangun ekosistemnya dulu. Seperti kebijakan program pendidikan mau dibuat seperti apa,” katanya.

Saat ini banyak orang Indonesia yang kuliah di Malaysia dan Singapura jika dibandingkan dengan sebaliknya. Sangat mungkin itu terjadi karena kualitas yang ditawarkan Malaysia lebih bagus. (tim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: