Hukum  

Tuntutan Hukuman Mati Kejaksaan Agung di Kasus Korupsi Asabri Menjadi Polemik

Tuntutan Hukuman Mati Kejaksaan Agung di Kasus Korupsi Asabri Menjadi Polemik

EDITOR.ID, Jakarta,- Komisaris Utama PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam perkara korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Sosial Bersenjata Republik Indonesia (Asabri), pada Senin 6 Desember 2021 yang lalu.

Tentunya hal ini menuai polemik. Pasalnya, ada pro dan kontra terhadap tuntutan hukuman mati Kejagung di kasus Asabri ini.

Diantaranya, Relawan Jokowi Mania (JoMan) saat menemui Jaksa Agung ST Burhanuddin. Pihaknya memberikan apresiasi dan dukungan atas tuntutan hukuman mati terhadap Kejagung.

“Eksekusi mati paling tepat. Pelaku korupsi di atas Rp 50 miliar harus divonis mati, apalagi ini triliunan,” ujar Ketua JoMan, Imanuel Ebenezer, Selasa 14 Desember 2021.

Menurutnya, hal ini bisa membuat efek jera bagi pelaku. “Harus dilakukan untuk meminimalisasi ancaman korupsi sistimik di masa depan,” tegasnya.

Secara terpisah, Pengacara Terdakwa Heru Hidayat, Kresna Hutauruk tuntutan JPU keliru berbeda dari dakwaan dan tidak sesuai dengan fakta persidangan.

Hal tersebut disampaikan dalam nota pembelaan Heru Hidayat dalam lanjutan sidang kasus dugaan korupsi Asabri.

“Kami menyoroti mengenai tuntutan mati oleh JPU yang menyimpang, sebab sejak awal JPU tidak pernah mencantumkan Pasal 2 ayat (2) dalam surat dakwaannya, padahal jelas surat dakwaan adalah acuan dan batasan dalam persidangan perkara ini sebagaimana Hukum Acara Pidana,” ujar Kresna dalam keterangan diterima, Selasa 14 Desember 2021.

Selain itu, lanjut Kresna, jaksa juga keliru dan salah memahami pengulangan tindak pidana dalam kasus yang melibatkan kliennya. Sebab saat kasus Asabri terjadi, sebelum Heru Hidayat dihukum dalam kasus Jiwasraya.

“Tuntutan JPU bahwa perkara ini adalah pengulangan tindak pidana sangat keliru, karena tempus perkara ini adalah 2012-2019, sebelum Pak Heru dihukum di kasus Jiwasraya. Sedangkan yang dimaksud pengulangan tindak pidana adalah tindak pidana yang dilakukan setelah seseorang divonis, sehingga jelas perkara ini bukan pengulangan tindak pidana,” bantah Kresna.

Dia berharap, lewat nota pembelaan ini majelis hakim dapat mempertimbangkan bantahan pihaknya dan bisa memutuskan perkara secara adil sesuai koridor hukum dan fakta persidangan.

“Tentunya saat ini kami berharap agar Majelis Hakim dapat memutus perkara ini sesuai dengan koridor hukum dan fakta yang terjadi dalam persidangan ini sehingga menghasilkan putusan yang adil,” ucap Kresna.

Sementara, Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan menduga ada unsur politik dibalik adanya wacana tuntutan pidana hukuman mati.

“Saya membaca selalu ada politik di balik penuntutan hukuman mati, jadi tidak murni selalu atas dasar pertimbangan hukum,” kata Halili.

Dia menilai tuntutan hukuman mati tersebut merupakan upaya dari jaksa penuntut umum Kejagung untuk mendapatkan sentimen positif dari publik.

Halili juga menegaskan bahwa Setara Institute tidak sepakat dengan hukuman mati dalam kasus apapun termasuk kasus korupsi.

Menurutnya, hukuman mati tidak akan menurunkan angka atau indeks korupsi di Indonesia.

“Pemiskinan merupakan hukuman yang tepat. Koruptor itu tidak takut mati, mereka takut miskin, makanya para pelaku itu melakukan korupsi,” tegas Halili.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid menilai penyelesaian kasus dengan hukuman mati merupakan pelanggaran hak untuk hidup sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

“Masyarakat Indonesia setuju dengan hukuman mati belum tentu karena mereka punitif atau kejam, tapi bisa karena sistem penegakan hukum di Indonesia banyak kekurangan sehingga masyarakat merasa pelaku yang tertangkap perlu dihukum seberat-beratnya,” tegas Usman.

Sebelumnya, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung (Kejagung). Jaksa menuntut Heru dalam perkara korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Sosial Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).

Jaksa meyakini Heru melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

“Menuntut majelis menyatakan Terdakwa (Heru Hidayat) terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang,” kata jaksa dalam tuntutannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (6/12/2021) malam.

“Menghukum Terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati,” jaksa menambahkan.

Sebagaimana dilansir liputan6.com, Jaksa juga menuntut hakim memberikan hukuman pidana berupa uang pengganti sebesar Rp 12,6 triliun ke Heru dengan ketentuan harus dibayar dalam jangka waktu satu bulan setelah vonis berkekuatan hukum tetap atau inkracht.

Jika tidak dibayar dalam jangka waktu satu bulan, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi kekurangan uang pengganti. Jika harta bendanya tak mencukupi, maka tak ada pidana tambahan lantaran tuntutan mati.

Jaksa meyakini Heru Hidayat mendapat keuntungan tidak sah dari pengelolaan saham PT Asabri sebesar Rp 12,6 triliun. Keuntungan itu disamarkan oleh Heru Hidayat dengan pembelian aset. Atas dasar itu jaksa meyakini Heru terbukti melakukan TPPU.

Jaksa menilai hukuman mati pantas diterima Heru Hidayat lantaran juga terlibat dalam tindak pidana korupsi di PT Asuransi Jiwasraya. Dalam kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya, Heru dihukum penjara seumur hidup karena kerugian negaranya lebih dari Rp 16 triliun. (Tim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: