Penajaman Makna Kader Bangsa, dan Peran ASN di Era Ekonomi Digital

Konflik kepentingan (conflict of interest) tetap menjadi kata kunci dalam penjajahan dan peristiwa lain yang menyerupainya. Penjajahan dalam konteks luas, bisa diawali dan berwujud dalam bentuk konflik penguasaan ( tidak harus memiliki ) kekayaan alam, berupa tambang, hutan dan kebun penghasil tanaman strategis, ataupun dalam bentuk lain seperti pengelolaan bahan mentah menjadi produk, transportasi darat, laut, udara di posisi-posisi menuju lokasi strategis, perebutan pasar bagi produk global dan sebagainya. Konflik kepentingan sudah lama menjadikan kebijakan Pemerintah menjadi obyek kepentingan.

Jika dianalisis lebih mendalam, konflik memang bisa terjadi di segala bidang, tetapi bermuara dan bertujuan utama pada kepentingan ekonomi. Entah itu berupa konflik wilayah, konflik politik, konflik agama dan kepercayaan, konflik budaya dan konflik militer serta lainnya. Kesadaran mendasar ini perlu di pahami bahkan selalu dikaji serta diantisipasi secara obyektif-ilmiah oleh seluruh kader bangsa.

Yang sampai kini menjadi banyak bahan kajian kritis adalah masih berlangsungnya penjajahan dengan model dan skema baru dimuka bumi ini, termasuk di Indonesia. Memang penjajahan masa kini tidak didominasi oleh perang fisik yang saling menghancurkan seperti Perang Dunia II. Sifatnya non-militer, dengan menggunakan strategi dan taktik Infiltrasi diberbagai bidang, seperti intelijen, militer, idiologi, ekonomi, politik, kesehatan, agama dan kepercayaan, tradisi dan kebudayaan, media, serta bantuan-bantuan lembaga dan negara lain ke “developing countries”. Selain infiltrasi, penjajahan gaya baru dilakukan dengan aktivitas eksploitasi, dengan memperlemah dan menguasai elemen-elemen militer, intelijen, politik, idiologi, ekonomi, kesehatan, sosial budaya.

Dalam terminologi Mantan Menteri Pertahanan, Jenderal (Purn) Ryamizard Riyacudu, ancaman berikutnya adalah adu domba antar warga bangsa agar menimbulkan konflik antar kelompok masyarakat serta melahirkan kekerasan, sampai perang saudara. Dilanjutkan dengan tahapan cuci otak dengan menjadikan salah satu penyebabnya adalah kekagagalan pemerintah; dan membongkar paradigma Nasionalisme menjadi Globalisme. Tahap terakhir adalah penguasaan suatu negara oleh kepentingan Negara asing Kapitalis yg mendukung kepentingan bisnis Investor dari negara yang sama.

Global Future Institute (GFI) Jakarta mengelompokkan Perang Gaya Baru diatas dengan “Asymmetric Warfare” ( perang asimetris), perang non-militer.

Australia’s Departement of Defence, mengkaitkan perang nirmiliter dengan perang militer ( perang konvensional). Namun menekankan pada hasil peperangan berupa non-militer, seperti penguasaan atau kontrol ekonomi negara lawan, penguasaan Sumber Daya Alam, dll.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: