Imbas UU Deforestasi Uni Eropa, RI Perlu Diversifikasi Pasar Selain Uni Eropa

Untuk itu ia berharap Pemerintah Indonesia perlu menempuh beberapa kebijakan untuk mengatasi situasi ini diantaranya dengan memperkuat hubungan dagang dengan negara-negara yang telah menjadi pelanggan setia CPO Indonesia seperti Amerika Serikat, China, dan India serta memperluas pasar ke negara timur tengah, negara afrika, dan negara-negara Asia lainnya.

Pakar Hukum Bisnis dan Perdagangan Internasional Prof. Dr. Ariawan Gunadi, S.H., M.H

Jakarta, EDITOR.ID,- Pengesahan Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa pada bulan Mei 2023 mulai membawa dampak bagi Indonesia. Pasalnya regulasi yang diberlakukan Uni Eropa ini melarang komoditi dan produk turunan perkebunan, pertanian, dan peternakan seperti minyak sawit, minyak kedelai, arang, daging sapi, kakao, kopi, karet, jagung, produk kayu dan pulp yang terindikasi dihasilkan melalui proses deforestasi dan degradasi hutan.

Pakar Hukum Bisnis dan Perdagangan Internasional Prof. Dr. Ariawan Gunadi, S.H., M.H mengatakan barang-barang yang berasal dari negara dengan risiko deforestasi yang tinggi harus melalui pengecekan oleh petugas pabean Uni Eropa.

“Komoditi dan produk turunan hanya boleh masuk ke pasar EU jika memenuhi syarat, antara lain bebas deforestasi dan degradasi hutan, memiliki legalitas yang cukup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara produsen dan mengikuti uji tuntas,” beber Pakar Hukum Bisnis dan Perdagangan Internasional Universitas Tarumanegara ini akhir pekan ini.

Untuk itu ia berharap Pemerintah Indonesia perlu menempuh beberapa kebijakan untuk mengatasi situasi ini diantaranya dengan memperkuat hubungan dagang dengan negara-negara yang telah menjadi pelanggan setia CPO Indonesia seperti Amerika Serikat, China, dan India serta memperluas pasar ke negara timur tengah, negara afrika, dan negara-negara Asia lainnya.

“Indonesia harus membangun pasar keuangan sawit yang mapan dan mendukung iklim usaha industri hingga dapat mengalahkan Uni Eropa,” ujar Ariawan Gunadi, peraih gelar doktor muda hukum bisnis dan pedagangan internasional Universtas Indonesia.

Selain itu, Lanjut Ariawan, pemerintah juga perlu memperbanyak penyelenggaraan pelatihan EUDR bagi produsen UMKM dan petani kecil. Yakni memberikan edukasi mengenai implementasi standar sustainability report dan implementasi sustainability certification seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) berdasarkan ketentuan EUDR dan mencukupi kebutuhan bahan baku minyak goreng dan turunan di dalam negeri.

Meski saat ini Pemerintah Indonesia bersama negara-negara eksportir lainnya sedang mengupayakan perlawanan, namun tampaknya kecil kemungkinan Uni Eropa akan mencabut regulasi EUDR. Hal ini diperparah imbas dari kebijakan Indonesia yang melarang ekspor biji nikel.

Lebih lanjut Ariawan mengatakan persyaratan due diligence EUDR tidak sesuai dengan prinsip dan kaidah hukum WTO karena persyaratan due diligence deforestasi dalam semua supply chain perdagangan internasional Uni Eropa secara inheren menciptakan sistem penolakukuran (benchmarking) yang bersifat diskriminatif bagi negara-negara eksportir produk perkebunan, pertanian, dan peternakan khususnya kelapa sawit karena mempersulit akses market penetration ke pasar Uni Eropa yang berimbas merugikan produsen UMKM dan petani kecil (smallholders).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: