Gus Dur, Ulama dan Budayawan

Demikian disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Muhibbin Caringin, Bogor, Jawa Barat KH Luqman Hakim, Jumat lalu dalam akun twitter miliknya @KHMLuqman menerangkan jiwa besar KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam kehidupan.

“Gus Dur tidak pernah mencaci maki orang yang berbeda pandangan dengannya bahkan kepada yang dinilai jahat sekali pun,” kata Pakar Sufi ini.

Menurutnya, Gus Dur selalu menghormati Ulama dengan tulus, walaupun berbeda pandangan. Sekalipun itu kiai kampung, Gus Dur tetap tawadhu’. Guru Bangsa itu juga rela dicacimaki, yang penting umat dan bangsa selamat.

Gus Dur, tuturnya, memandang bangsa ini sebagai keluarga besar. Apa artinya membangun keluarga bangsa jika saling melukai dan berdarah?

“Dia mampu memilah dengan mudah mana yang besar dan mana yang kecil, mana yang umum mana yang khusus, mana yang Allah dan mana yang makhluk,” ungkap Kiai Luqman.

Menurutnya, Gus Dur memandang dunia ini hanya sebesar biji buah pala bahkan lebih kecil lagi. Begitu saja kok repot! Gus Dur juga sering memberikan pelajaran bahwa keshalehan seseorang tidak pernah diukur dengan tampilan.

“Kesahajaan Gus Dur tidak dibuat-buat untuk citra. Kesahajaan orisinal. Lautan tak bertepi, silakan diarungi sendiri. Jika tak bisa berenang anda akan tenggelam sia-sia,” ucap Pemimpin Majalah Cahaya Sufi ini.

Dr.(H.C.) K.H. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur merupakan salah satu tokoh muslim indonesia yang pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia ke-4 yang memerintah dari tahun 1999 hingga tahun 2001.

Gus Dur juga merupakan mantan ketua tanfidziyah atau badan eksekutif Nahdlatul Ulama (NU) dan juga pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Gus Dur merupakan anak dari pasangan K.H Abdul Wahid Hasjim dan Solichah yang lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Gus Dur meninggal pada 30 Desember 2009 di Jakarta.

Gus Dur pernah bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yaitu sebuah organisasi yang terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah Prisma dan Wahid menjadi salah satu kontributornya, sebagai kontributor ia berkeliling pesantren dan majalah di seluruh Jawa. Gusdur merasa prihatin dengan kemiskinan yang dialami pesantren.

Abdurrahman Wahid terus mengembangkan kariernya sebagai seorang jurnalis, artikel yang ditulisnya diterima baik dan kemudian Ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Karena hal tersebut, Gus Dur mendapat banyak undangan untuk membeikan seminar dan kuliah namun hal tersebut membuatnya harus bolak-balik Jakarta-Jombang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: