Ajal Demokrasi Jember?

Sejatinya, Faida tokoh non partai yang balik kandang. Jalur perseorangan yang ditempuh untuk periode kedua, adalah konfirmasi atas sikap antipartai. Bila tudingan ini selalu dibantahnya, maka itu tak lebih sekadar lips service. Keberadaan anggota parlemen dalam benaknya hanya ngerecoki peran, tugas dan tanggungjawab bupati sebagai orang nomor satu di daerah.

Pada acara Debat Publik ke-2 Pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Jember, 22 November 2020, dari Faida, tak keluar satu kalimat pun, yang menginginkan untuk memperbaiki hubungan dengan DPRD, yang menjadi sumber persoalan Jember lima tahun terakhir. Sikapnya yang kekeh, merepresentasikan faham kekuasaan otoretarianisme yang antidemokrasi. Sebab, partai politik, kata 2 ilmuwan politik Amerika Serikat tersebut, “pintu masuk demokrasi”.

Sekalipun di luar jalur partai politik diakui dalam sistem Pilkada di Indonesia, dalam pranata nilai demokrasi universal, pencalonan melalui jalur independen itu “makruh”. Sebab, bila menang, posisi bupati dan DPRD secara politis akan diametral berhadap-hadapan. Ini sangat rawan konflik antara eksekutif dan legislatif. Seperti yang sudah berjalan, instabilitas pemerintahan tak terhindar. Rakyatlah yang ujung-ujungnya jadi korban.

Apalagi Faida, yang punya sejarah “pembangkangan administratif” terhadap Mendagri dan Gubernur, demokrasi Jember akan menemui “ajalnya”. Sebab, 4 indikator yang diuraikan Levitsky dan Ziblatt, menyeruak dari kepemimpinan Faida. Antara lain:

Pertama, kurangnya komitmen Faida mematuhi aturan main demokrasi. Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah telah berbuah berbagai sanksi, baik secara pribadi maupun kelembagaan.

Kedua, menafikan legitimasi lawan politik, dan lebih memilih jalan sendiri. Hubungan yang buruk antara bupati dan DPRD sebagai mitra strategis dan kritis dalam mewujudkan pemerintah daerah, telah menghilangkan check and balance pada pranata pemerintahan demokratis.

Ketiga, status dan komentar dari media sosial di Jember, sarat dengan sarkasme dan ujaran kebencian. Keadaban demokrasi dan kewibawaan pemimpin lenyap bersamaan dengan aksi pembiaran kekerasan verbal terhadap bupati dan yang kontra bupati Faida.

Keempat, apatisme Faida terhadap kritik dan narasi kontrakritik dari warga dan media, tak sehat bagi tumbuh suburnya dialog publik yang konstruktif. Padahal dialog publik yang take and give akan melahirkan kebijakan partisipatoris yang kaya kreasi dan inovasi bagi kemajuan daerah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: