Ahli epidemiologi dan biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI, Pandu Riono/Net
EDITOR.ID, Jakarta,- Ahli Epidemologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengancam akan menggugat apabila Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberi izin untuk produksi massal Obat anti Covid-19 temuan para peneliti Universitas Airlangga, Surabaya.
Pandu mempermasalahkan prosedur penelitian obat tersebut yang disebutnya mengambil jalan pintas.
Gugatan akan diajukannya kepada akademisi Universitas Airlangga sebagai lembaga yang disebutnya bertanggung jawab terhadap integritas ilmu pengetahuan.
“Saya menggugatnya bukan ke TNI atau BIN, tapi ke akademis Unairnya, sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap integritas ilmu pengetahuan. Mereka tahu itu, tidak ada jalan pintas untuk pengembangan ilmu,” ujar Pandu sebagaimana dilansir dari SINDOnews, Minggu (16/8/2020) kemarin.
Pandu Riono menegaskan bahwa yang paling penting dari sebuah riset adalah prosedurnya. Jika obat COVID-19 hasil penelitian Universitas Airlangga (Unair) Surabaya bekerja sama dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI itu tidak memenuhi secara prosedural, maka obat itu tidak layak terdaftar Badan POM.
“Yang paling penting adalah prosesnya, apakah diikuti nggak standar prosedurnya. Itu yang paling penting. Makanya saya berani bilang, jangan percaya. Karena itu berdasarkan kaidah standar, kalau itu udah dilanggar sama mereka, jangan dipercaya. Apalagi sampai didaftarkan oleh Badan POM, dan Badan POM menerima, saya gugat,” papar pengamat epidemologi yang laris diwawancara TV ini.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI ini menjelaskan, untuk semua penelitian yang bersifat nasional apakah itu obat atau vaksin, harus di-review oleh Komite Etik Balitbangkes.
Selain me-review, Balitbangkes juga akan memonitor setiap proses penelitian tersebut. Obat COVID-19 ini tidak sesuai standar prosedur yang seharusnya.
Dia menambahkan, semua tahu bahwa Covid-19 ini bencana dunia, tetapi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun membuat Clinical International Trial, di mana ada multi center study terkait obat-obatan yang semuanya mengikuti prosedur.
Di Indonesia pun, Balitbangkes berperan sebagai motornya. Semua harus patuh terhadap regulasi karena hasilnya nanti digunakan masyarakat.
“Buat apa mengobati kalau tidak ada manfaatnya. Seperti Hydrochloroquine, hasil studi dunia di beberapa negara sudah mengomunikasikan bahwa tidak ada manfaatnya. Di Amerika sudah dicabut sebagai obat untuk pengobatan Covid, di Indonesia belum dicabut. Apakah masih mau diberikan Covid karena ada efek sampingnya yang sampai meninggal. Di daerah ada kematian, dia meninggal karena ada obat yang tidak perlu diberikan,” ungkapnya.