13 Juta Suara Rakyat Terbuang Sia-Sia, Caleg Potensial Berguguran

Menurut Titi, seharusnya parliamentary threshold menjadi cara untuk menghasilkan lembaga perwakilan yang efektif mewakili kelompok aspirasi di masyarakat.

Sayangnya justru terjadi penerapan parliamentary threshold yang tidak efektif. Bahkan berdampak pada terbuangnya suara para pemilih yang telah berpartisipasi begitu saja.

Pendapat Titi dibenarkan oleh pakar hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fitra Arsil, dalam tanggapannya di acara yang sama. Fitra menyebutkan bahwa pengaturan angka parliamentary threshold cenderung ‘tebak-tebakan’ angka tanpa penjelasan memadai.

Fitra menjelaskan bahwa hukum tata negara di seluruh negara demokratis mengakui konstitusionalitas parliamentary threshold. Bahkan Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah empat kali menolak permohonan membatalkan parliamentary threshold sebesar 4 persen itu dalam UU Pemilu.

Majelis Hakim yakin bahwa pengaturannya dalam undang-undang sebagai open legal policy yang tidak melanggar konstitusi.

Meskipun begitu, Fitra memberikan sejumlah catatan. ‘‘Tujuan parliamentary threshold itu ada bermacam-macam,’’ ujarnya. Pertama, parliamentary threshold diatur dengan tujuan politik idelogis.

Kelompok politik yang dianggap menghambat atau bertentangan dengan cita-cita negara dihambat masuk ke parlemen.

Eksistensi mereka dicegah sejak awal untuk berkembang melalui saluran politik.

Hal ini juga akan membuat tidak lagi ada partai politik yang kental secara ideologis.

Partai politik didorong untuk meraup suara dari basis massa yang lebih luas. ‘‘Jadi tidak ada partai yang ideologis lagi, supaya bisa menampung segala lapisan pemilih,’’ kata Fitra.

Kedua, tujuan stabilitas dan efektifitas pemerintahan. ‘‘Ada anggapan kalau banyak partai di parlemen, susah ambil keputusan, susah terjadi konvensi,’’ Fitra melanjutkan penjelasannya.

Padahal Presiden tetap membutuhkan kerja sama yang baik dengan parlemen dalam menjalankan pemerintahan.

Oleh karena itu, cara yang paling mudah adalah menetapkan parliamentary threshold yang tinggi agar hanya partai-partai besar yang lolos. ‘‘Tapi banyak suara terbuang, ini tidak fair dalam kebebasan berpendapat. Pembatasan jangan sampai menghilangkan suara,’’ ujarnya.

Bagi Fitra, seharusnya perolehan suara yang menggambarkan aspirasi pemilih harus dihargai dengan kursi di DPR.

Artinya, calon yang sudah memperoleh suara untuk satu kursi di DPR jangan dibatalkan hanya karena perolehan suara total partainya tidak mencapai parliamentary threshold.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: