Melihat Perbedaan Reaksi TNI Menyikapi Suara Effendi Simbolon

Terkait hal tersebut bermunculan berbagai tanggapan dan opini. Salah satunya dari peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi yang justru menilai bahwa tindakan spontanitas prajurit TNI AD tersebut tidak boleh dibiarkan.

Soal kapal asing diijinkan melintas di jalur perbatasan laut di Natuna diatur dalam hukum laut Internasional dirumuskan pada Konvensi Hukum Laut 1958 dan dimuat pada Konvensi Hukum Laut 1982 yang dikenal dengan Right of Innocent Passage atau Hak Lintas Damai, dimana Indonesia telah meratifikasinya.

Dalam Hak Iintas damai disebutkan bahwa didalam laut teritorial berlaku hak lintas damai bagi kapal asing sepanjang tidak melanggar dan mengganggu perdamaian, aturan hukum dan keamanan negara yang dilewati sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 19 ayat (1) UNCLOS 1982.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, dimana letak ketidakjujuran TNI atau lebih tepatnya ketidak jujuran pernyataan Laksma Dato Rusman yang disebutkan oleh Effendi Simbolon, dimana jelas-jelas dalam aturan kapal-kapal tersebut diperbolehkan melintas secara damai di perairan Indonesia.

Sampai saat inipun tidak terjadi konflik di laut Natuna Utara yang dapat membahayakan keamanan dan kedaulatan negara Indonesia seperti yang disampaikan oleh Effendi Simbolon.

Pernyataan Effendi Simbolon yang menganggap TNI tidak jujur kepada Presiden pada waktu itu tidak menimbulkan reaksi seperti saat ini. TNI AD yang saat ini bereaksi keras pun pada waktu itu tidak bereaksi apapun.

Apakah karena yang dituding Effendi Simbolon adalah Laksma Dato Rusman yang berasal dari TNI AL? Sehingga TNI AD membiarkannya. Padahal jelas yang disebut oleh Effendi Simbolon adalah TNI secara umum, bukan TNI AL secara khusus.

Hal ini menimbulkan pertanyaan baru. Kenapa ada dua reaksi berbeda dari kasus yang sama?

Jika dikaitkan dengan perintah Kasad Dudung yang memerintahkan prajurit TNI AD untuk bereaksi, maka dugaan bahwa unsur matra amat lekat pada perbedaan sikap pada kedua kasus tersebut.

Dapat diduga TNI AD merasa tidak terhina pada saat Effendi Simbolon menyebut TNI tidak jujur kepada Presiden karena yang dituding adalah prajurit TNI AL.

Namun reaksi berbeda muncul ketika tudingan seperti gerombolan ormas yang bermula dari isu ketidak harmonisan hubungan Panglima TNI-KASAD disuarakan oleh Effendi Simbolon.

Berdasarkan hal tersebut masyarakat akan bertanya, kemana TNI AD saat Effendi Simbolon berkomentar bahwa TNI tidak jujur kepada Presiden?

Bila hal tersebut tidak dijelaskan dengan baik akan menimbulkan gelombang opini liar baru. Bahwa TNI tidak solid.

Masyarakat pun bisa menilai bahwa TNI AL lebih bersikap dewasa dan lebih terbuka terhadap kritik dibanding TNI AD yang terkesan sumbu pendek.

Masyarakat juga akan menilai bahwa, dengan tindakannya yang berbeda terhadap dua kasus yang sama, TNI AD tidak memiliki rasa solidaritas kepada matra lainnya.

Kembali kepada pernyataan Khairul Fahmi bahwa sepatutnya pimpinan TNI bisa menunjukkan kematangan dalam mengarahkan dan mengendalikan prajuritnya. Maka, dalam hal ini jelas bahwa Pemimpin TNI AL memiliki kepemimpinan yang lebih baik dalam mengarahkan dan mengendalikan prajuritnya. (tim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: