Konflik dan Perawatan Integrasi

Bandingkan dengan konflik di wilayah Timur Tengah pasca Revolusi Arab Spring yang hampir tak memiliki masa depan (Suriah, Mesir).

Konteks kita setidaknya terdapat dua alasan utama yaitu, terdapatnya pengalaman terhadap sirkulasi kekuasaan sejak Orla, Orba, hingga Orde Reformasi.

Kedua, terdapat kesadaran dari middle class terhadap masa depan pasca tekanan ekonomi, sosial dan politik dimasa lalu (Azra, 2015).

Kesadaran tersebut membawa kita menuju perubahan sosial yang relatif stabil.

Perubahan sosial biasanya dipicu oleh tiga persoalan pokok, yaitu tekanan luar kedalam sistem, perkembangan sistem internal, serta lahirnya gagasan liar para tokoh pembaharu (Nasikun, 2016).

Mencermati keadaan hari-hari ini, impresi luar tak begitu signifikan kecuali tekanan ekonomi dan sosial budaya yang bersifat infiltrasi.

Mungkin yang menjadi pendorong konflik adalah perubahan sistem (pemilu serentak) sehingga membutuhkan adaptasi dan kompatibilitas dengan perangkat pelaksananya.

Faktor ketiga adalah meresapnya isu perubahan ideologi ke arah teokrasi dan komunisme, disamping gerakan politik people power.

Ketiga faktor tersebut sekalipun tampak dan erat bertalian namun sekali lagi, tak cukup signifikan mendorong perubahan sosial.

Tampaknya kekuatan politik dalam masyarakat tak begitu solid dalam mengartikulasikan kehendaknya.

Birokrasi, kekuatan politik masyarakat, serta kelompok intelektual yang sering disebut aktor pun tak cukup terorganisir untuk melakukan perubahan sosial.

Birokrasi lebih bersikap netral, kekuatan politik masyarakat kehilangan figur, sementara kelompok intelektual lebih suka berkontemplasi di kelas daripada bereksperimen di lapangan politik.

Pada saat yang sama respon pemerintah setidaknya telah menghentikan penetrasi kekuatan politik masyarakat untuk masuk lebih jauh.

Terlepas dari itu, perawatan integrasi mesti dilakukan dalam waktu dekat dengan berupaya membangun kesadaran kolektif akan bahaya konflik bagi masa depan suatu bangsa.

Perlunya mengikat semua pihak yang berkonflik kedalam rantai organisasi yang dapat dikendalikan, serta perlunya kepatuhan pada pranata tata aturan dan konsensus dengan segala konsekuensinya.

Tanpa itu, kita hanya akan menapaki hari-hari yang penuh kesengsaraan, dimana kesenjangan atas distribusi otoritas menciptakan keserakahan kemakmuran (welfare grabbing), dan bukan berbagi kemakmuran (welfare sharing). ***

?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: