EDITOR.ID, Jakarta,- Generasi Muda Khonghucu (Gemaku) ingin meluruskan pernyataan Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama, Caliadi yang secara sepihak menyatakan bahwa kelenteng itu tempat ibadah agama Buddha Tridharma. Dan bukan sebagai tempat ibadah umat Khonghucu.
“Pertama GEMAKU jelas sekali tidak ingin ikut campur terlalu jauh urusan kelenteng Tuban Kwan Sing Bio, karena itu sama sekali bukan domain GEMAKU,” sebut Ketua Umum GEMAKU JS Kristan dalam keterangannya melalui Whatsapps kepada EDITOR.ID, Jumat (18/9/2020)
Di Indonesia tidak ada yang namanya agama Buddha Tridharma. Tapi memang ada organisasi masyarakat dalam bidang keagamaan yang bernama Tridharma
“Sepemahaman GEMAKU yang dimaksud Tridharma ialah mengakomodir tiga ajaran yang memang umum dipeluk oleh masyarakat Tionghoa pada umumnya dan jelas sekali itu posisinya sejajar dan setara,” katanya.
Tidak dikenal posisi aliran Buddhisme lebih dominan, Taoisme lebih dominan ataupun Khonghucu lebih dominan.
Prinsip organisasi Tridharma. lanjut Kristan, sepanjang yang GEMAKU ketahui ialah duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi diantara ketiga ajaran tersebut dan tidak dikenal ada salah satu yang lebih dominan. Hal ini kita bisa lihat dari sejarah pendirian Organisasi Tridharma oleh Kwee Tek Hoay.
Jadi pernyataan Kelenteng sebagai tempat ibadah agama Buddha itu yang perlu diluruskan karena tidak tepat dan keliru serta bisa menimbulkan konflik antar umat beragama.
Menurut Pasal 46 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 jelas sekali kelenteng merupakan tempat ibadah agama Khonghucu sementara bagi agama Buddha namanya Vihara.
“Sudah seharusnya membaca Peraturan Pemerintah 55/2007 di mana di dalam pasal 46 secara jelas menyebutkan Klenteng sebagai salah satu rumah ibadah umat Khonghucu. Sedangkan untuk umat Buddha dalam pasal 44 disebutkan Vihara atau Cetya,” tegasnya.
Nah ambigu mendefinisikan kelenteng dan Vihara ini yang perlu diluruskan sesuai definisinya dengan jelas.
“Sekali lagi GEMAKU sama sekali tidak ingin mencampuri polemik yang terjadi di Tuban karena GEMAKU tidak faham duduk perkaranya dengan jelas,” tegasnya.
Konsen GEMAKU ialah hanya ingin mengklarifikasi pernyataan seorang pejabat di Kementrian agama yang seharusnya faham dengan aturan yang telah dibuat.
Dimana tidak bisa seenaknya sendiri menyimpulkan pendapat pribadi apalagi menyoal tempat ibadah dan kehidupan beragama di Indonesia yang tentunya sangat sensitif.
“Harusnya seorang pejabat di kementerian agama bisa bersikap arif dan bijaksana dalam mengambil sikap,” paparnya.