Sangsi Tegas Politik Uang di PEMILU Apa Kata Para Capres?

Indonesia saat ini menjadi salah satu negara dengan tingkat praktik politik uang saat pemilu terbesar di dunia, hanya kalah dari Uganda dan Benin. Pernyataan itu disampaikan oleh Burhanuddin Muhtadi dalam orasi pengukuhannya sebagai Profesor Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Rabu (29/11). Politik uang mematikan nurani demokrasi, karena masa depan bangsa tidak bisa dibeli dengan harga apapun. Kandidat yang bermain politik uang dengan warga masyarakat berarti dia telah memandang rendah warga masyarakat yang akan memilihnya.

Ilustrasi Uang

Jakarta, EDITOR.ID – Indonesia saat ini menjadi salah satu negara dengan tingkat praktik politik uang saat pemilu terbesar di dunia, hanya kalah dari Uganda dan Benin.

Pernyataan itu disampaikan oleh Burhanuddin Muhtadi dalam orasi pengukuhannya sebagai Profesor Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Rabu (29/11).

Diungkapkan, dalam penelitiannya berjudul Votes for Sale: Klientelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi.

“Ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat politik uang terbesar ketiga di dunia. Hanya kalah dibanding Uganda dan Benin,” kata dia.

Burhanuddin mengungkapkan dari hasil risetnya dalam kurun waktu dua Pilpres terakhir pada 2014 dan 2019.

Hasil riset ilmiahnya itu dia beri judul ‘Votes for Sale: Klientelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi’ dirilis dalam prosesi pengukuhannya sebagai profesor ilmu politik UIN Jakarta.

Hasilnya 33 persen atau 62 juta dari total 187 juta pemilih yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) terlibat praktik jual beli suara.

Menurut Burhanuddin Muhtadi menganggap
ada pemilih mengambang atau swing voters yang dijadikan target oleh politikus, mereka sebagian besar yang disasar para politikus adalah para simpatisan partai politik yang angkanya mencapai sekira 15 persen, sisanya, 85 persen tak masuk dalam sasaran praktik politik uang karena dianggap tak bisa diandalkan.

“Mereka enggan membidik pemilih mengambang karena dianggap mereka menerima paket yang yang ditawarkan tapi soal pilihan tidak bisa dipastikan,” ucap Burhanuddin.

Dari 15 persen diyakini bisa menyumbang 10 persen sebagai penentu suara.

Jumlah tersebut dinilainya cukup efektif konteksnya terhadap persaingan pemilihan legislatif sesama calon dari partai yang sama.

“Angka 10 persen bisa menjadi faktor penentu kemenangan. Rata-rata margin kemenangan untuk mengalahkan rivalnya hanya 1,6 persen. Jadi, [jumlah 10 persen] bisa membuat perbedaan caleg yang menang dan yang kalah,” sambung Burhanudin Muhtadi.

Politik uang mematikan nurani demokrasi, karena masa depan bangsa tidak bisa dibeli dengan harga apapun.

Kandidat yang bermain politik uang dengan warga masyarakat berarti dia telah memandang rendah warga masyarakat yang akan memilihnya.

Melihat warga hanya sebagai segerombolan orang yang cukup dibeli, tidak perlu diajak diskusi layaknya subjek dalam demokrasi. Jalannya roda demokrasi bila sebatas tanpa adanya pertukaran ide dan gagasan satu sama lain.

Kejujuran dan integritas adalah mata uang yang sejati untuk membangun negara yang kuat dan berdaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: