News  

Risma Tuai Kritikan Akibat Paksa Tunarungu Bicara

Mensos Tri Rismaharini MI

Seorang penyandang tunarungu kritik Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini karena memaksa anak tuli berbicara di depan banyak orang dalam peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2021.

Dalam acara tersebut, Risma meminta penyandang disabilitas rungu untuk berani berbicara di depan orang banyak. Tindakan Risma itu mendapat kritik dari perwakilan Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), Stefanus.

“Saya mau bicara dengan ibu sebelumnya, bahwasannya anak tuli itu memang harus menggunakan alat bantu dengar, tapi tidak untuk dipaksa berbicara,” ujar Stefanus melalui juru bicara bahasa isyarat di Kemensos, Jakarta Pusat, dilansir CNN Indonesia, Rabu (1/12).

Stefanus kaget ketika melihat Risma memaksa penyandang disabilitas rungu berbicara menggunakan pengeras suara. Ia mengatakan penyandang tunarungu bisa menggunakan bahasa isyarat yang lebih mudah dipahami dan bisa diterjemahkan oleh juru bahasa isyarat.

“Karakter anak tuli itu bermacam-macam. Jadi ada yang bicaranya tidak jelas, ada yang memang dia tuli sejak kecil dan kemampuan bahasa isyaratnya pun beragam. Jadi itu yang harus dihargai,” ungkap Stefanus.

Risma segera menghampiri Stefan di lokasi setelah mendapatkan kritik tersebut. Risma mengatakan tindakannya meminta para penyandang disabilitas untuk berbicara di depan umum sebagai salah satu upaya untuk melatih kemampuan bicara.

“Kenapa ibu paksa kalian untuk bicara? Ibu paksa memang, supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita, mulut, mata, telinga. Tapi saya berharap kita semua bisa mencoba,” ujarnya.

Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Gufroni Sakaril mengatakan sebanyak 34 juta orang merupakan penyandang disabilitas, berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional (Sensusnas) 2020.

Namun, kata Gufron, kesempatan penyandang disabilitas bisa bekerja di instansi pemerintah atau swasta masih minim.

“Harapan satu persen penyandang disabilitas bisa terserap dalam pekerjaan, tapi yang terwujud angkanya masih kecil, hanya 0,0 persen sekian,” kata Gufron di Kemensos, Jakarta Pusat, Rabu (1/12).

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pemerintah daerah, pemerintah pusat, BUMN, dan BUMD wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

Kemudian instansi atau perusahaan swasta diwajibkan mempekerjakan paling sedikit 1 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

Menurut Gufron, serapan pekerjaan bagi penyandang disabilitas di BUMN atau instansi pemerintah hanya 0,001 persen. Angka itu jauh lebih rendah di perusahaan swasta. “Kita butuh advokasi agar mereka memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas sehingga mereka bisa bekerja dan produktif,” katanya.

Lebih lanjut, Gufron meminta Kemensos lebih memberdayakan penyandang disabilitas untuk meningkatkan kualifikasi dan kemampuan yang dibutuhkan di lingkungan pekerjaan. Menurutnya, kelompok difabel seringkali terhambat oleh persyaratan yang ditetapkan.

“Kemensos agar mengadakan pendidikan dan juga membuka seluas-luasnya formasi untuk penyandang disabilitas, memberikan program peningkatan kualifikasi, pendidikan, meningkatkan pengalaman dan pelatihan hingga ada sertifikat kerja,” ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: