EDITOR.ID, Jakarta, Para pentolan Front Pembela Islam (FPI) memang licin dan lihai dalam memainkan manuver politik melawan pemerintah. Ketika kelompok mereka dilarang berkegiatan dan menggunakan atribut atau simbol FPI. Mereka pun mengubah singkatan FPI menjadi Front Persatuan Islam demi bisa lolos dari larangan pemerintah.
Pengamat hukum Dr Urbanisasi menilai, “merek” baru itu hanya akal-akalan FPI saja. “Mereka mengubah nama untuk mensiasati agar mereka tetap bisa bergerak membangun narasi,” ujar Urbanisasi kepada EDITOR.ID di Jakarta, Jumat (1/1/2021)
Namun lanjut Staf Pengajar Universitas Tarumanagara ini, soal pengakuan de jure memang FPI sudah tidak punya. Sekarang yang diandalkan FPI adalah menggalang kekuatan de fakto. Yakni dengan cara membangun narasi seolah mereka korban pendzoliman rejim yang berkuasa.
Menurut Urbanisasi, mereka pandai membangun narasi untuk menarik empati publik. Apalagi isu yang dimainkan kemudian berlindung dengan isu perjuangan agama. Masyarakat akan menilai perjuangan FPI benar.
“Jadi kekuatan mereka selama ini hanya pada kemampuan membangun narasi untuk penggalangan massa pengikut militan, ” ujar Urbanisasi.
“Nah jika pemerintah bisa memutus mata rantai penanaman ideologi FPI ke anak-anak muda yang masih polos melalui pengembangan moderasi Islam, dan program ini bisa dilakukan, maka pamor FPI di mata publik lambat laun akan memudar sendiri, jangan terlalu dikasih panggung,” imbuh Doktor jebolan Universitas Hasanudin ini.
Yang membahayakan dari FPI bukan fisik yang terlihat. Namun ideologi mereka yang tidak tampak dan kini tersebar dimana-mana. Dan mereka terus aktif membangun narasi ke publik.
“Mereka terus membuat narasi dan terus menanamkan ideologi atau mencuci otak warga masyarakat yang kurang cerdas dan masyarakat yang sakit hati atas ketidakadilan dengan isu menyesatkan tentang adanya kekuasaan anti Islam, padahal itu fitnah dan tidak ada,” katanya.
Pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD telah melarang segala kegiatan serta aktivitas Front Pembela Islam (FPI) pada Rabu, 30 Desember 2020.
Hal itu juga tertuang dalam surat keputusan bersama (SKB) 6 pejabat tinggi di Kementerian/Lembaga, yaitu Mendagri Tito Karnavian, dan Menkumham Yasonna Laoly.
Kemudian Menkominfo Jhonny G Plate, Jaksa Agung Burhanuddin, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis, serta Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar. (tim)