Menurut catatan Barr dan Sayer (2012) berjudul “The political economy of reforestation and forest restoration in Asia–Pacific: Critical issues for REDD+”, DR juga digunakan untuk membiayai proyek-proyek politis Orde Baru, yang kurang terkait dengan kegiatan reforestasi, seperti pembiayaan industri pesawat Nurtanio (190 juta USD) dan proyek kontroversial pembangunan lahan gambut (250 juta USD).
Sampai akhir rezim Suharto, otoritas administrasi dan pengelolaan dana DR dipegang oleh Departemen Kehutanan, terpisah dari anggaran negara. Pengelolaan DR yang tidak transparan serta menyimpang jauh dari praktek akuntansi dan kontrol fidusia, mendorong pemerintah masa reformasi untuk mengambil kebijakan yang lebih transparan.
Pemerintah melalui peraturan No. 35 tahun 2002 memasukkan DR sebagai penghasilan negara bukan pajak. Kebijakan ini justru mempersulit akses penggunaan DR untuk kegiatan kehutanan, termasuk upaya reforestasi dan rehabilitasi hutan.*
Saat ini kawasan hutan Indonesia dari seluas 162 juta hektare di tahun 1960 kini tinggal 125.795.306 Hektar dengan panjang batas 373.828,44 KM yang terdiri dari 284.032,3 KM batas luar dan 89.796,1 KM batas fungsi kawasan hutan.
Sampai dengan Desember 2022 telah dilakukan penataan batas kawasan hutan sepanjang 332.184,0 KM (88,88%) yang terdiri dari penataan batas luar kawasan hutan 242.387,8 KM (65%) dan penataan batas fungsi kawasan hutan sepanjang 89.796,1 KM (24%).
Realisasi penetapan kawasan hutan hingga Desember 2022 adalah seluas 99.659.996 Ha yang terdiri dari 2.328 unit SK
Kasus-kasus:
1. Keputusan Presiden (Keppres) No. 82 Tahun 1995, Presiden ke-2 Republik Indonesia (RI) Soeharto ttg Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah. Iklannya heboh. Hasilnya tak ada. Karena lahan itu faktanya mengandung asam, hutan & lahan pun mengalami kebakaran. Sehingga gagal ditanami apapun. Beritanyapun akhirnya heboh krn proyek PLG gagal. Keberadaan PLG tersebut pada akhirnya dinyatakan selesai dan gagal pada 1998 melalui Keppres No. 33 Tahun 1998 di masa kepemimpinan BJ Habibie.
2. Keppres No. 80 Tahun 1999 untuk membayar ganti rugi kepada yang terdampak, dilanjutkan di masa Presiden SBY dg Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2007 dg dana sebesar Rp3,9 trilyun untuk merehabilitasi lahan gambut ternyata tidak ada kejelasan mengenai penggunaan di lapangan.
3. Di masa Presiden SBY, Program Merauke Integrated Energy Estated (MIFEE) tahun 2010 melalui Inpres No. 5 Tahun 2009 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009 serta Inpres No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Inti dari proyek MIFEE adalah membuka lahan seluas 1,2 juta hektare untuk sawah di Merauke, Papua. Tujuan utamanya supaya memperkuat cadangan pangan dan bioenergi untuk memantapkan serta melestarikan ketahanan pangan nasional. Namun proyek itu gagal krn proyek itu justru utk usaha konsesi HPH yg justru menghancurkan pangan rakyat Papua karena hancurnya pertanian sagu dan ekosistemnya.