“Kebijakan ini harus dikoreksi oleh pemerintahan mendatang. Para capres-cawapres yang berlaga di Pilpres 2024 tak boleh memalingkan muka dari situasi ini. Food estate sudah gagal dan harus dihentikan,” ujar Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Proyek food estate itu selama ini menjadi proyek tipuan pemerintah Indonesia sejak masa Orde Baru sampai sekarang. Karena sesungguhnya proyek itu digunakan untuk investasi perusakan dan pembabatan hutan. Mengapa demikian? Karena pinjaman utk proyek HPH sesungguhnya tak pernah ada karena larangan internasional kcl proyek reboisasi.
Nyatanya, baik dana hutang untuk proyek food estate dan reboisasi hutan (dibentuk tahun 1980 melalui Keputusan No. 35 tentang Dana Jaminan Reboisasi-DJR) pun dialihkan untuk proyek HPH penebangan hutan dst bersama perusahaan2 swasta raksasa 9 naga spt Sinarmas dst.
Saat proyek itu gagal dan diganti proyek Dana Reboisasi dg Kepres No. 31 tahun 1989 pun pemerintah kembali mengulang kesalahan yang sama: dana digelontorkan justru untuk memberikan konsesi HPH & perkebunan sawit lagi dg secara lebih besar melakukan pembabatan hutan bagi KKN Suharto dkk dg perusahaan 9 naga dkk & asing. Deforestasi besar2an (antara 1 juta hektare sampai 3,8jt ha per tahun) terjadi akibat pembangunan kebun sawit (PT. SMART, Kuala Kuayan, Palangkaraya. ©Daniel Beltrá/Greenpeace).
Karenanya, tahun 1989 pemerintah melalui Keputusan No. 31 mengubah DJR menjadi retribusi yang tidak dapat dikembalikan, bernama Dana Reboisasi (DR). Pembayaran DR ini tidak meniadakan kewajiban pemegang HPH untuk melaksanakan pemeliharaan dan permudaan hutan.
Awalnya DR dipatok sebesar 7 USD/ m3 produksi kayu, dan secara bertahap ditingkatkan menjadi 13-20 USD/ m3, tergantung jenis kayunya. Menurut publikasi CIFOR, sekitar pertengahan 1990-an, penerimaan DR mencapai 500 juta USD/ tahun. Antara 1990 dan 2010, penerimaan DR diperkirakan mencapai lebih dari 6 milliar USD.
Lagi-lagi, keputusan ini tidak terlalu berdampak dalam mendorong pemegang HPH untuk merestorasi bekas tebangan. Banyak analis ekonomi dan kebijakan kehutanan menyebutkan bahwa besaran DR yang masih tergolong rendah, dibandingkan keuntungan yang dinikmati pemegang HPH. Apalagi jugqcmeliputi illegal logging.
Belakangan DR digelontorkan untuk membiayai pembangunan Hutan Tanaman Industri, yang mulai menjadi prioritas kebijakan kehutanan nasional pertengahan dekade 1980-an, menyikapi peningkatan kebutuhan kayu industri dan penurunan pasokan kayu hutan alam. Menurut audit Ernst and Young (1999), dalam decade 1990-an, Departemen Kehutanan (saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) mengalokasikan sekitar 1 miliar USD untuk pembangunan HTI.