Jangan lupa, menurut aturannya, LHKPN ini setelah diserahkan ke KPK juga diumumkan ke publik. KPK memberi ruang kepada sasyarakat untuk melaporkan apabila di lingkungannya diketahui ada pejabat yang tidak melaporkan harta kekayaannya dengan benar dengan melampirkan bukti pendukung seperti foto dan info lainnya melalui email.
Alhasil, LHKPN ini dalam prakteknya lebih banyak mudarat daripada mamfaatnya. Karena seseorang pejabat bisa terpaksa berbohong saat mengisi laporan LHKPN-nya dengan berbagai pertimbangan pribadi.
Bisa jadi agar asal usul harta kekayaannya diusik atau mungkin pula karena tidak ingin dianggap riya (pamer). Sebaliknya, tetangga atau orang lain bisa mengirim informasi palsu ke KPK untuk mendiskreditkan seorang pejabat.
Karena mindset seseorang terhadap harta kekayaan orang lain tidak selalu sama. Bisa melahirkan pujian, tapi bisa pula menjurus kepada fitnah. Dalam persepsi publik seperti itu KPK bakal disibukan dengan klarifikasi harta kekayaan seseorang yang dilaporkan orang lain. Padahal belum tentu seseorang jadi kaya karena korupsi.
Sekarang kita ambil hikmahnya saja. Apa yang dipersoalkan Dharma dan Buwas adalah PR tersendiri bagi KPK.
Menurut informasi resmi KPK, saat ini ada 350.539 orang penyelenggara negara yang punya status wajib setor LHKPN. Sementara SDM di KPK cuma 1.600 orang, itu pun yang punya kapasitas sebagai penyelidik/penyidik tidak lebih dari setengahnya.
Apakah tidak ada cara lain yang lebih efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi?
Dalam praktek selama ini KPK sudah terbukti mampu menangkapi koruptor melalui instrumen penyadapan dan pelaporan masyarakat.
Untuk kepentingan pemulihan aset hasil korupsi, toh KPK bisa berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan Ditjen Pajak. Apa susahnya?
Sekian (Habis)