Inskonstitusional Bersyarat Jalan Tengah Putusan MK Uji Formil UU Cipta Kerja

ilustrasi

Oleh : Imam Hidayat
Penulis Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Rumah Bersama Advokat (Peradi RBA) Sedang Menempuh Pendidikan Program Doktoral Universitas Brawijaya

imam hidayat
imam hidayat

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (inkonstitusional), dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

Agar menjadi konstitusional, syaratnya adalah UU Cipta Kerja harus mendapat perbaikan dalam tempo 2 tahun, atau dinyatakan inkonstitusional permanen.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman saat membacakan amar putusan dalam sidang, Jakarta, Kamis (25/11/2021) : Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan.

Dalam pembacaan amar putusan, Anwar Usman juga menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan para pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dengan DPR melakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan di dalam putusan tersebut.

MK juga menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula untuk menerbitkan peraturan pelaksana baru turunan dari UU Ciptaker.

Putusan MK ini dikenal sebagai Putusan Inkonstitusional bersyarat (Conditionally Unconstitusional). MK memberikan syarat kepada pemerintah dan DPR dalam dua tahun untuk memperbaiki beberapa persyaratan agar terpenuhi. Menurut hemat penulis Putusan MK ini merupakan jalan tengah dan putusan “penolakan” yang halus beretika agar tidak mendelegitimasi dan mengecewakan pembuat Undang-Undang yang telah bekerja keras menuangkan buah pemikirannya.

Pemaknaan hukum baru “judge made law” sebagaimana dalam pemahaman sistem hukum di negara yang menganut anglo saxon yang melahirkan jurisprudence karena bersifat final and binding (terakhir dan mengikat)

Putusan uji formal terhadap UU Ciptaker Nomor 11 tahun 2020 yang dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu inkonstitusional bersyarat adalah jenis penjatuhan putusan baru “kaidah baru” oleh Mahkamah Konstitusi terhadap perkara uji materiil yang selama hanya menjatuhkan putusan ditolak atau tidak dapat diterima serta dikabulkan.

Sebuah pasal yang dimohonkan dianggap konstitusional bersyarat apabila pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 selama memenuhi syarat yang ditetapkan oleh MK. Jika tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka menjadi inkonstitusional.

Sebaliknya, dikatakan inkonstitusional bersyarat dalam hal pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional, akan tetapi pasal tersebut akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi.

Tentu hal ini menimbulkan silang pendapat dari berbagai kalangan pemerhati hukum yang sudah terbiasa berfikir legalistik formalistik dalam memahami jenis putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara oleh badan Peradilan selama ini

Dalam perkara perdata kita mengenal azas ultra petita atau ultra petitum, tapi dalam hukum pidana tidak dikenal.

Lantas bagaimana dengan peradilan Mahkamah Konstitusional yang selama ini kita pahami sebagai badan peradilan uji terakhir terhadap pembuatan peraturan “legislasi” yang dibuat oleh para legistor “pemerintah dan DPR”?

Penulis melihat hakim mahkamah dalam memutuskan uji formil UU ciptaker sangat tepat dan benar, dengan mempertimbangan kepentingan yang lebih besar “nasional” demi mencegah kegaduhan yang terjadi dalam sistem ketatanegataan kita

Sebagaimana kita pahami pembentukan UU Cipta Kerja dengan metode omnibuslaw tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang tata cara pembentukan peraturan undang-undang.

Kemudian juga kita harus pahami ada masalah dalam akuntabilitas, transparansi, proses legislasi, dst lahirnya UU Ciptaker dengan metode Omnibus dengan menjadikan 79 peraturan undang-undang dalam satu undang- undang yang bernama Ciptaker.

Tetapi kita tidak menutup mata bahwa uu ciptaker dibuat dengan maksud dan tujuan yang baik, disamping itu Undang-Undang ini telah berlaku dengan banyaknya keluar peraturan pelaksana terhadap UU Nomor 11 tahun 2020 ini, tentu hal ini jika kemudian dibatalkan secara total akan menimbulkan kegaduhan yang luar biasa

Hakim Mahkamah Konstitusi dengan pemikiran kebangsaan yang dalam serta jiwa kenegaraan yang arif dan bijaksana akhirnya menjatuhkan putusan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 “ciptaker” sebagai undang-undang yang inkonstitusional bersyarat dengan memberikan jangka waktu selama 2 tahun untuk merubah dan memperbaiki, dengan catatan selama rentang 2 tahun tersebut tidak diperbolehkan untuk membuat kebijakan-kebijkan yang strategis

Kita patut apresiasi putusan “inkonstitutional bersyarat” Mahkamah konstitusi dalam hal ini sudah tepat dan benar dengan mempertimbangkan dalam berbagai aspek, baik hukum, politik, keamanan, sosial dan ekonomi. (***)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: