EDITOR.ID, Jakarta,- Pengamat politik Lemdik Phiterindo for Indonesian Political Strategy Dr Urbanisasi menilai gerakan #2019GantiPresiden adalah bentuk kampanye untuk membentuk persepsi guna mereduksi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
“Kampanye Ganti Presiden adalah kegiatan politik dan kalau menurut saya itu adalah curi start kampanye Pilpres, ini harus dihentikan kalau demokrasi kita ingin fair,” ujar Doktor alumni Universitas Hasanudin, Makassar ini di Jakarta, Minggu (26/8/2018)
Oleh karena itu Urbanisasi mendesak agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyelidiki dan menganalisa gerakan mereka yang belakangan massif. “Dan menurut saya harus segera dihentikan karena sudah menjurus kampanye negatif, ” papar Urban.
Kenapa Urban menuding gerakan #2019GantiPresiden sebagai kampanye negatif, karena di dalam kegiatannya lebih menjurus menyebarkan provokasi ke masyarakat tentang keburukan pemerintahan Joko Widodo yang secara faktual tidak terbukti.
“Padahal faktanya tidak demikian, namun gerakan Ganti Presiden selalu menyebarkan kampanye jika pemerintahan saat ini dinilai gagal, namun mereka tidak secara jelas menunjukkan kegagalan pemerintahan saat ini dimananya, mereka hanya memainkan isu semata,” katanya.
Pasalnya, gerakan ini diinisiasi sejumlah politisi dan nuansa politiknya lebih kental ketimbang semangat gerakan perubahan. Gerakan yang dimotori para politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seperti Mardani Ali Sera, Neno Warisman lebih banyak mendiskreditkan pemerintahan Joko Widodo.
Terbukti Selasa (14/8/2018) silam Ketua Umum Relawan Emak Militan Jokowi Indonesia (EMJI) Djati Erna Sahara, melaporkan Isa Anshari, politisi PKS Mardani Ali Sera, dan salah satu salah aktivis dalam gerakan #2019GantiPresiden, Neno Warisman ke Bareskrim Polri atas perkara ujaran kebencian (hate speech).
Surat tanda terima laporan tercatat di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Bareskrim Polri dengan Nomor STTL/838/VIII/2018/BARESKRIM. Adapun, nomor Laporan Polisi (LP) tersebut, yakni STTL/838/VIII/2018/BARESKRIM tertanggal, Selasa 14 Agustus 2018.
“Jadi kami dari organisasi Emak Militan Jokowi Indonesia melaporkan Neno Warisman, Mardani Ali Sera, Isa Anshari dan kawan-kawannya yang selama ini menyebarkan #2019gantipresiden,†kata Djati usai melapor.
Djati memandang perbuatan yang dilakukan mereka telah melanggar nilai-nilai demokrasi Indonesia. “Upaya-upaya mereka itu seolah-seolah mereka ingin menghalangi Pak Jokowi untuk dipilih kembali. Dan mereka memprovokasi masyarakat untuk tidak memilih beliau (Joko Widodo),†tutur Djati.
Selain itu, menurut Djati, tindakan yang dilakukan oleh Mardani Ali Sera, Neno Warisman, dan Isa Anshari telah melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 155 ayat (1), pasal 157.
Lebih lanjut, dalam laporannya ini, Djati turut membawa sejumlah barang bukti. Barang bukti tersebut berupa video yang menampilkan kampanye #2019gantipresiden pada tanggal 6 Mei 2018 saat kampanye di Monas serta tanggal 29 Juli 2018 saat kampanye di kota Batam.
“Membawa sejumlah video di mana Mardani (Ketua DPP Partai Keadilan Sosial Mardani Ali Sera) berorasi deklarasi #2019gantipresiden, Video Neno Warisman mengajak berperang, kemudian video Neno Warisman juga yang mengajak orang-orang mengganti sistem (pemerintahan), mengganti presiden dan memprovokasi,†kata Djati.
“Dan video Isa Anshari, dia juga melakukan kampanye untuk ganti presiden di Kalimantan,†sambung Djati. Djati berharap pelaporan ini bisa segera ditindaklanjuti dan para terlapor menjalani hukuman yang akan dikenakan oleh kepolisian.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta, Adi Prayitno, menilai gerakan #2019GantiPresiden sebagai bagian dari upaya agitasi dan propaganda untuk meruntuhkan kredibilitas pemerintah yang sedang berkuasa.
“Itu biasa saja dalam politik,” kata Adi.
Tagar tersebut, kata dia, juga bisa dimaknai sebagai bahasa oposisi pemerintah yang menunjukkan sikap berbeda dengan penguasa saat ini sekaligus menggiring opini agar tidak memilih penguasa yang sama dalam pemilu presiden 2019.
Adi menilai kemasan bahasa dalam gerakan tersebut juga sangat to the point, provokatif, dan mudah diingat sebagai bahan propaganda. “Tak perlu ilmiah, yang penting pesan provokasinya mudah dicerna masyarakat. Justru kalau ilmiah dan njlimet sukar dipahami,” ujarnya.
Menurut Adi, tagar #2019GantiPresiden merupakan bagian dialektika berdemokrasi sehingga tidak perlu direspons berlebihan. Apalagi sudah ada tagar tandingannya, yakni #2019duaperiode untuk Joko Widodo atau Jokowi.
Dua tagar itu, dia melanjutkan, menjadi uji materi siapa yang lebih kuat. “Ini bagus untuk kesehatan demokrasi kita. Untuk menghindari pentas monolog satu kekuatan politik tertentu,” ucapnya. (tim)