Di dalamnya menyebut, penegak hukum mulai dari penyidik, penuntut umum, hakim diberi kewenangan upaya paksa “menempatkan” tersangka/terdakwa penyalahguna narkotika ke lembaga rehabilitasi.
“Hal itu berlaku pada semua tingkat pemeriksaan agar yang bersangkutan sembuh,†terang dosen Universitas Trisakti ini.
Dalam batang tubuh UU Narkotika, sambung Anang, penyalahguna digambarkan seperti dua sisi mata uang. Satu sisi digambarkan sebagai “korban kejahatan narkotika sekaligus penderita penyakit adiksi ketergantungan narkotika”. Sedangkan, di sisi lain digambarkan sebagai “pelaku kejahatan” penyalahgunaan narkotika yang diancam hukuman penjara kurang dari 5 tahun.
Artinya tidak memenuhi syarat ditahan dalam proses penegakan hukum. Namun sedapat mungkin ditempatkan di tempat sekaligus sebagai tempat rehabilitasi. Menurut Anang, hal tersebut tercantum dalam pasal 21 KUHAP.
Sehingga secara yuridis penyalahguna tidak dapat ditahan. Tetapi UU Narkotika menjamin upaya penyembuhan melalui proses rehabilitasi. Itu sebabnya penegak hukum diberi kewenangan menempatkan ke lembaga rehabilitasi.
Hal ini sebagai upaya paksa agar sembuh. Dan upaya paksa rehabilitasi secara administrasi hukum sama dengan ditahan atau dipenjara. “Di mana masa menjalani rehabilitasi dihitung sebagai masa menjalani hukuman,†papar pria yang pernah menjadi Kepala Divisi Humas Polri ini.
Menurut dia, pilar “penyembuhan” harus seimbang dengan “pemenjaraan”. Ini bertujuan agar tren kejahatan narkotika dapat ditekan perkembangannya dan diberantas sampai ke akar-akarnya.
Lebih Suka Menjebloskan ke Penjara Pengguna Narkoba
“Jomplangnya penanganan narkotika karena penegakan hukum lebih menitikberatkan pada memenjarakan daripada merehabilitasi penyalah guna, mengobati birokrasi sakit dan menderadikalisasi paham radikal,” lanjut Anang Iskandar.
Oleh karena itu, mantan Gubernur Akpol 2012 tersebut mengimbau agar DPR dan pemerintah yang baru terbentuk, mengontrol dengan sungguh-sungguh keseimbangan penegakan hukum narkotika.
Hal ini menjadi penting karena DPR dan pemerintah sebelumnya tidak menggigit dalam mengontrol keseimbangan penegakan hukum bersifat represif dan rehabilitatif.
Dia mengatakan, di mata penegak hukum, memenjarakan tersangka seakan-akan “kunci Inggris” pemberantasan kejahatan narkotika. Padahal 3 pilar solusi disebutkan pada tujuan UU Narkotika.
“Karena salah kunci, saat ini kejahatan narkotika meningkat dan memasuki tahap darurat dan meresahkan masyarakat. Ketidaksesuaian penggunaan kunci penegakan hukum menyebabkan maladministrasi dan malspirit dalam mencapai tujuan UU yang ingin dicapai,” kata Anang Iskandar.
Dampaknya, sambung dia, kejahatan narkotika justru tumbuh subur dan menguras sumber daya pemerintah maupun penegakan hukum serta menjadi komoditas politik paling seksi di negeri ini.