EDITOR.ID – Jakarta, Terkait dengan adanya kepala daerah yang dipandang tidak mau mematuhi peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan mengatakan seorang kepala daerah bisa diberhentikan jika melanggar peraturan. Namun, pemberhentian itu harus melalui prosedur yang panjang.
“Kalau ada pelanggaran-pelanggaran, misalnya tidak mematuhi peraturan perundang-undangan bisa diberhentikan dengan tahapan-tahapan yang begitu panjang,” kata Djohermansyah dalam diskusi virtual, Minggu (22/11/2020).
Pemberhentian kepala daerah tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU tersebut merevisi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Menurut Djohermansyah, beleid terbaru dibentuk karena semakin banyak jenis pelanggaran kepala daerah. Misalnya melanggar sumpah jabatan, mengelola daerah sesuka hati, hingga plesiran ke luar negeri tanpa izin.
“Perbaikan UU Nomor 32 tahun 2004 menjadi 23 tahun 2014 dibahas dengan DPR dan disepakati ada sanksi sehingga kepala daerah tidak sesuka hati karena merasa sebagai raja kecil,” paparnya.
Djohermansyah mengatakan pemerintah daerah yang melanggar bisa langsung ditegur Mendagri. Namun, peringatan secara tertulis adalah kewenangan Presiden.
“Tapi teguran tertulis tidak boleh dari Mendagri. Harus melalui Presiden,” tegas Djohermansyah.
Pemerintah daerah yang masih bandel bisa diberhentikan melalui proses di DPRD sebagai wakil rakyat. Kemudian proses itu bisa berlanjut ke Mahkamah Agung (MA) untuk pembuktian dan keputusan akhir.
Djohermansyah mengatakan pemberhentian kepala daerah mungkin dilakukan. Salah satunya mantan Bupati Garut, Aceng HM Fikri yang diberhentikan karena melanggar etika dan undang-undang akibat pernikahan siri.
Kehadiran UU teranyar diyakini membantu pemerintah pusat mengawasi dan mengevaluasi kinerja pemerintah daerah. Sebab, bukan perkara mudah mengawasi 508 kabupaten/kota dan 34 provinsi. (Tim)