EDITOR.ID, Surakarta,- Seorang mantan pengikut Badrie Hartono alias Toni pimpinan Jaringan Al Qaeda Indonesia atau jaringan Islam radikal intoleran di Indonesia mengungkapkan sejumlah ajaran paham radikal yang diajarkan kelompok ini.
Dia adalah Chamidi. Warga Kampung Griyan, Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Solo, Jawa Tengah, itu kini hidup tenang dan tekun dengan wirausahanya sebagai penjual pohon bonsai.
Siapa sangka, pria paruh baya ini pernah mendekam di penjara Mako Brimob dua tahun lebih karena terjerumus kelompok teroris.
Awalnya ia hanya ikut-ikutan setelah “dirayu” dan diagitasi tetangga barunya, Badrie yang juga pembeli pohon bonsainya. Karena ia sendiri sebenarnya orang yang jarang beribadah dan awam agama. Dari sanalah Chamidi dicekoki ajaran Islam Intoleran oleh kelompok Badri dkk.
Pertama, Chamidi dicekoki ajaran dan paham bahwa negara ini Kafir karena tidak menggunakan hukum Tuhan. Kelompok ini menganggap mayoritas umat Islam Indonesia itu kafir. Dikarenakan umat Islam di Indonesia tidak menggunakan hukum Allah.
Umat Islam masih mengakui Pancasila dan Negara Kesatuan RI. Kelompok intoleran tidak mengakui hukum di luar hukum Islam menurut tafsir mereka.
“Kelompok kajian ini menggunakan referensi landasan bahwa orang yang tidak mau menggunakan hukum Allah itu Kafir, orang yang tidak mau memakai hukum Allah itu Dzalim, orang yang tidak menggunakan hukum Allah disebut Fasiq, dan harus dimusuhi,” ungkap Khamidi.
Kedua, menurut Chamidi, kelompok ini sangat tertutup dengan orang luar. Bahkan tidak menjawab salam sesama orang Islam di luar kelompok mereka. “Kalau pun menjawab, hanya menjawab wa alaikum, seperti jika menjawab salam non muslim,†kata Chamidi.
Ketiga, Chamidi mengaku bahkan ia diajarkan memusuhi orang tuanya sendiri jika tidak mau mengikuti ajaran mereka.
“Kami diajarkan paham memurtadkan orang tua kami jika mereka tidak mau mengikuti ideologi mereka, walaupun itu ibu kita sendiri, adiknya sendiri, ini sangat bertolak belakang dengan batin saya yang sangat mencintai orang tua saya,” katanya.
Berikutnya soal pernikahan. Mereka melakukan pernikahan tanpa wali yang sah, khuluk. Kendati ayah sang wanita masih hidup, mereka memilih menggunakan wali hakim bila sang ayah bukan bagian dari kelompok yang berbaiat sesuai manhaj atau keyakinan mereka.
Terakhir, mereka menghindari simbol-simbol negara seperti upacara bendera, menyanyikan lagu kebangsaan, sumpah pegawai negeri, dan lain-lain. “Saya sering sengaja mengantarkan anak terlambat datang ke sekolah waktu hari Senin agar tidak ikut upacara,†kata Chamidi.