Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia
DIPERLUKAN waktu sekitar 20 sampai 30 menit dari pohon sukun bersejarah tempat Bung Karno merenung untuk sampai di lokasi Pesantren Walisanga. Lokasinya agak di pinggir kota, berada di lereng bukit dengan jalan sempit dan berliku, bahkan di beberapa ruas masih berupa jalan tanah belum diaspal.
Saya membayangkan kalau musim hujan jalan itu akan sulit dilewati karena berlumpur. Bangunan pesantren yang terletak di bawah kaki gunung Meja di Kecamatan Ende Selatan ini sudah lumayan bagus, ruang kelas dan asrama sudah tergolong layak. Suasana alam yang indah dengan latar belakang panorama gunung Meja yang menawan, membuat pesantren ini semakin menarik.
Kami datang disambut hangat oleh seluruh santri dan pengasuh. Setelah dijamu makan siang, kami disuguhi tarian yang dimainkan oleh para santri. Mereka menampilkan tarian yang baru saja diajarkan oleh mbak Wina, salah seorang anggota tim BPIP yang kebetulan pelatih tari.
Setelah itu kami berdialog dengan pengasuh dan para santri. Kami menggali pengalaman hidup dan praktek berpancasila yang dilakukan oleh para santri dan pengasuh pesantren.
Pendirian Pesantren Walisanga Ende dirintis oleh KH. Mahmud Eka, seorang pengamal thareqat Qadiriyah-Naqsabandiyan. Beliau merintis pesentren ini bersama sahabatnya yang kebetulan ayah kandung budayawan Taufiq Rahzen.
Diceritakan oleh bu Nyai Halimah, salah seorang putri alm. Mahmud Eka yang sekarang menjadi pimpinan pesantren, ada berbagai hambatan saat merintis berdirinya pesantren ini.
Dengan perasaan haru bu Nyai Halimah mencertakan bagaimana ayahnya, KH. Mahmud Eka mendapat fitanah keji sampai acaman fisik saat merintis berdirinya pesantren yang mengajarkan Islam yang damai dan moderat. Pernah difitnah memakan uang yayasan, dituduh menjual agama sampai acaman fisik mau dibunuh dan disiksa.
“Karena tidak tahan menerima tekanan dan firnah, ibu dan anak-anak pernah meminta abah berhenti merintis pesantren†demikian bu nyai Halimah berceritaa pada kami.
“Tapi semua itu tak menyurutkan niat abah untuk terus berjuang merintis pendirian pesantren ini, hingga pelan-pelan akhirnya pesantren berkembang seperti sekarang ini†Tambahnya.
Dsebutkan oleh Nyai Halimah, meski banyak yang menentang, tapi banyak juga pihak yang mendukung pendirian pesantren ini, misalnya para pastor yang ada di biara Santo Yosef dan beberapa seminari.