Misalnya, ketika ada berkas yang diserahkan kepada Kejaksaan, dan Jaksa menganggap ada yang belum lengkap, maka dikembalikan kembali ke Penyidik, begitu seterusnya tanpa adanya kepastian batas waktunya.
Atas kerugian tersebut Advokat pun tidak dapat berargumentasi lebih, karena kerja Advokat bersifat pasif dalam pemeriksaan perkara pidana pada proses penyidikan.
Sehingga, potensi klien seorang Advokat yang dirugikan menjadi besar dengan alasan semakin lamanya pemeriksaan di tahap Penyidikan tersebut.
Sebaliknya, diberikannya kewenangan Penyidikan Lanjutan di RUU Kejaksaan kepada Jaksa berdampak pada adanya potensi semakin cepatnya pemeriksaan perkara sebelum diserahkan ke pengadilan.
Dengan alasan tersebut, hak klien Advokat untuk menjalani proses hukum dengan cepat dapat terpenuhi, karena Jaksa-lah yang benar-benar mengetahui apa saja yang perlu dilengkapi dan dipersiapkan untuk melanjutkan perkara pidana ke pengadilan negeri tanpa adanya tindakan penyerahan dan pengembalian berkas perkara penyidikan yang berlangsung terus-menerus.
Penyidikan lanjutan juga berimplikasi dalam perwujudan Pasal 50 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.
Pada dasarnya perluasan kewenangan Penyidikan Lanjutan kepada Jaksa tidak berimpliklasi negatif, asalkan dapat dilaksanakan secara profesional.
Artinya, pelaksanaannya harus mempertimbangkan kode etik dan sumpah Jaksa, sehingga dapat menjaga moralitas penegak hukum yang berorientasi pada perwujudan kebenaran dan keadilan. (tim)