(Bukan) Negara Pembiaran

Angka ini dihitung sejak tahun 2005 ketika kita mulai mengadopsi pilkada langsung hingga sekarang. Rinciannya, 255 bupati, 69 walikota, dan 38 gubernur.

Ilustrasi

Oleh : Djohermansyah Djohan
Penulis : Guru Besar IPDN, Dirjen Otda 2010-2014, Presiden i-Otda

EDITOR.ID,- Dengan ditersangkakannya Bupati Meranti M. Adil oleh KPK kemaren, tercatat sudah 362 (66 %) atau 2/3 dari jumlah kepala daerah kita se Indonesia yang kena kasus korupsi sepanjang 18 tahun terakhir ini.

Angka ini dihitung sejak tahun 2005 ketika kita mulai mengadopsi pilkada langsung hingga sekarang. Rinciannya, 255 bupati, 69 walikota, dan 38 gubernur.

Saya yakin kalau tidak ada perbaikan regulasi pilkada, khususnya terkait “punishments & rewards”, korupsi kepala daerah tak akan pernah berhenti.

Mengapa? Karena sistem pilkada langsung berbiaya mahal yang kita gelar tak didukung oleh partai politik yang sehat, subsidi negara yang memadai buat partai, masyarakat yang pendidikkannya tinggi, dan ekonominya kuat.

Partai masih doyan mahar, masyarakat suka politik uang, dan negara tak pula hadir meringankan beban partai dan kandidat. Maka, lengkaplah penderitaan itu.

Malahan uang mahar, dan uang beli suara rakyat (Nomor Piro Wani Piro=NPWP) makin lama tambah menggila besarnya.

Sementara subsidi negara kepada partai dan kandidat kepala daerah jauh dari kebutuhan minimal.

Akhirnya, para kandidat terpaksa jual aset, menerima dana cukong, yang kalau mereka menang kontestasi akan minta kembaliannya berupa proyek-proyek pemda.

Dalam pada itu, tradisi “fund raising” dari masyarakat untuk kandidat kepala daerah tak tumbuh di negeri ini.

Kita akhirnya seperti menghasta kain sarung, korupsi kepala daerah terus berulang tak kunjung hilang walau sudah hampir dua dekade kita mengembangkan demokrasi lokal.

Karena itu, hendaknya pada momentum hajatan pilkada serentak nasional 27 Nopember 2024, negara harus hadir, tak membiarkan atau hanya berdoa moga-moga kasus korupsi Bupati Adil adalah yang terakhir.

Di negara kesatuan presiden pemegang kekuasaan pemerintahan. Ia membina dan mengawasi pemda. Presiden penanggung jawab akhir bila pemda jelek.

Ia harus risau bila sudah dua pertiga kepala daerah masuk penjara gara-gara korupsi (jual beli jabatan, pengadaan barang dan jasa, perizinan, dll). Apa lagi, Presiden Jokowi punya anak dan mantu jadi walikota (Gibran di Solo dan Bobby di Medan).

Hemat saya, perlu diperbaiki regulasi Pilkada kita. Cantumkan sanksi kepada daerah bila kepala daerahnya korup.

Pertama, daerah dicabut wewenangnya untuk bikin pilkada langsung, dan sebagai gantinya daerah diberi wewenang memilih kepala daerah lewat DPRD.

Bila kepala daerah hasil pemilihan DPRD masih korup, pemerintah pusat mengangkat kepala daerah dari PNS berdasarkan usulan DPRD selama satu atau periode.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: