Ali Moertopo yang kala itu menjabat wakil kepala Bakin sekaligus asisten pribadi Soeharto tampaknya kurang senang kepada Jenderal Soemitro. Perseteruan keduanya mengalami puncak nadir saat pecah kerusuhan 15 Januari 1974.
Jenderal Soemitro yang menjabat wakil Panglima ABRI sekaligus Pangkopkamtib, disinyalir dekat dengan kalangan aktivis mahasiswa. Dengan demikian, Soemitro menjadi tenar di kalangan mahasiswa.
Tampak bahwa pada aksi mahasiswa menolak kehadiran Tanaka itu, Ali Moertopo memainkan peran men- taclkeing Soemitro dengan membuat gerakan anarkisme. Soemitro sebagai PangKopkamtib dirasa gagal oleh Soeharto untuk mengantisipasi kerusuhan sosial. Hal itu diyakini oleh Soemitro sebagai ulah Ali.
Penulis bersama Abriyanto wartawan senior TSM Jakarta tahun 1989 mencoba mengkonfirmasi langsung bertemu dengan Jenderal (Purn) Soemitro. Kami tanyakan soal duduk persoalan, mengapa gerakan mahasiswa 74 mengalami distruktif dan muncul kerusuhan? Sementara mahasiswa jauh dari pikiran melakukan huru hara apalagi bakar-bakaran?
Dan betulkah Pak Soemitro pada momentum itu disharmoni dengan Ali Moertopo?
Pertanyaan kami dijawab langsung oleh Soemitro. Bahwa kerusuhan malapetaka 15 Januari 1974 memang by design oleh kelompok Ali Moertopo. Jelas bahwa gerakan mahasiswa dan tokoh-tokohnya dijadikan korban politik oleh Ali Moertopo.
Alasan itu guna membangun stabilitas keamanan yang lebih kondusif di kemudian hari. Dan Ali tidak ingin rusak namanya di hadapan Soeharto. Maka, Soemitro yang harus dikorbankan dalam peristiwa Malari.
Setelah peristiwa Malari 74 dapat digembosi dan dipadamkan oleh Pemerintah Orde Baru. Program berikutnya untuk menjinakkan kampus dengan represifitas, bahwa mahasiswa dilarang berpolitik. Mahasiswa dimonitor dengan ketat dengan menggiatkan Resimen Mahasiswa (Menwa) untuk memonitor para aktivis di kampus. Mereka akan melarang mahasiswa melakukan kegiatan kemahasiswaan diluar program kampus.
Paska terjadinya huru hara Malari 74 , berdampak pada aktivitas kampus. Kampus dikebiri, dimandulkan. Mahasiswa diportal dengan NKK, BKK.
Mahasiswa dibungkam dan dalam dilema. Apa yang terjadi pada mahasiswa dan kampus adalah depolitisasi dan dekandensi. Amat sedikit mahasiswa yang habitus diskusi, habitus membaca, habitus menulis.
Padahal diskusi, membaca, dan menulis prasyarat utama bagi mahasiswa untuk mengetahui dunia, menganalisis situasi sosial, politik, ekonomi maupun bergerak melawan kekuasaan. (Danang Pamungkas Pend. Sosiologi 2012, Anggota Mazhab Colombo UNY).