Oleh : Edi Winarto
Pemerhati Sejarah
Hari ini sejenak kita mengheningkan cipta untuk mengenang ribuan pahlawan yang rela kehilangan nyawanya demi sebuah harga diri dan penolakan atas penjajahan asing. Arek-arek Suroboyo dengan gagah berani hanya bersenjatakan bambu runcing berani mencegat kendaraan lapis baja tentara sekutu.
Perang di Surabaya pada 10 Nopember 1945 menjadi catatan sejarah perang paling besar sejak Perang Dunia kedua. Kegigihan para pejuang dan para suhada yang mempertahankan setiap jengkal tanah air Indonesia dengan darah dan nyawanya patut kita kenang.
Lebih dari 160 ribu pemuda Surabaya tewas dalam peperangan ini dan 1.500 pasukan sekutu, jumlah tewas terbesar dalam perang.
Pekikan heroik Bung Tomo melalui radio berupa Merdeka atau Mati menjadi pendorong semangat ribuan pemuda bertempur menghadapi tentara sekutu di Surabaya.
Pertempuran Surabaya menjadi perang terbesar dan terberat dalam sejarah revolusi nasional Indonesia, pasca Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
Demi menguasai Surabaya Tentara sekutu mengirimkan ribuan Pasukan dipimpin Brigadir Mallaby.
Tentara Inggris bersuku India yang paling ditakuti dunia mendarat di Surabaya terdiri dari Batalyon Infanteri Maratha yang terlatih dalam perang kota dan Batalyon Rajputna yang mampu menjadi pasukan penghancur dengan senapan mesinnya.
Brigade ini dilengkapi kendaraan lapis baja, angkutan militer dan didukung puluhan pesawat pembom yang mengguyur surabaya dengan ratusan bom untuk meluluhlantakan kota pahlawan.
Ketika hendak mendarat di Surabaya, tentara berpengalaman dalam perang dunia kedua ini berpikir orang Surabaya tak terlatih memegang senjata dengan baik. Tentu saja mereka salah mengira.
“Hai tentara Inggris! Kaoe menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera poetih takloek kepadamoe, menjuruh kita mengangkat tangan datang kepadamoe, kaoe menjoeroeh kita membawa sendjata-sendjata jang kita rampas dari Djepang oentoek diserahkan kepadamoe.”
“Toentoetan itoe walaoepoen kita tahoe bahwa kaoe sekalian akan mengantjam kita oentoek menggempoer kita dengan seloeroeh kekoeatan jang ada.”
“Inilah djawaban kita: Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih mendjadi merah & putih,maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!
“Kita toendjoekkan bahwa kita adalah benar-benar orang jang ingin merdeka.Dan oentoek kita, saoedara-saoedara, lebih baik kita hantjur leboer daripada tidak merdeka.
Sembojan kita tetap: MERDEKA atau MATI.
Itulah jawaban Bung Tomo melalui corong radio atas permintaan Inggris untuk melucuti senjata laskar-laskar Indonesia. Tak terdengar sedikit pun nada gentar dan ragu. Tegas dan lugas. Khas lelaki.
Dia tahu pasti bahwa melawan Inggris itu ibarat menaiki gunung pedang.
Melawan negara pemenang Perang Dunia ke-II, negara yang tak terkalahkan sepanjang peradaban perang modern.
Tapi Bung Tomo juga tahu. Ada kalanya kaki tetap harus melangkah ke gunung pedang meskipun kematian sudah pasti menanti di sana.
Karena itulah jalan hidup yang sudah digariskan langit bagi seseorang yang ingin tegak harga dirinya.
Dan pada 10 November 1945 pecahlah pertempuran yang tak terbayangkan oleh akal sehat.
Surat kabar Times di London mengabarkan bahwa kekuatan Inggris terdiri dari 25 ponders, 37 howitser, 15 tank Sherman, HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, 12 kapal terbang jenis Mosquito, 15.000 personel dari Divisi 5 dan 6.000 personel dari Brigade 49 The Fighting Cock.
Semua itu dilawan oleh para pejuang NKRI hanya dengan senapan kuno, keris, dan bambu runcing!
Menurut sejarawan Des Alwi, setelah mendarat pasukan sekutu sadar bahwa militer Jepang sudah tidak berkuasa lagi di Surabaya. Orang-orang di Jakarta, masih bisa bersikap ramah terhadap militer Inggris. Namun orang Surabaya tidak.
Sejak pendaratan mereka tak mendapatkan senyum damai dari pemuda Surabaya. Bahkan belum seminggu mendarat, pasukan Inggris India ini malah kehilangan jenderal yang jadi komandan brigade dalam sebuah kerusuhan di muka Gedung Internatio pada 30 Oktober 1945. Tak heran jika Inggris marah. Lalu pembalasan pun teramat kejam dan tanpa ampun.
Pertempuran Surabaya ini menjadi salah satu pertempuran yang paling tidak ingin diingat oleh Pasukan Sekutu, terlebih Inggris. Bagaimana tidak, di kota inilah pasukan elite Inggris dipaksa mengibarkan bendera putih dan meminta bantuan pimpinan musuh (Republik) untuk menghentikan peperangan.
Inggris tidak hanya kehilangan satu, tapi dua jenderal: Brigadier General Aubertin Walther Sother Mallaby dan Brigadier General Robert Guy Loder Symonds.
Peperangan besar pada 10 November 1945 di Surabaya banyak menelan korban jiwa. Diperkirakan ada 160 ribu pejuang arek-arek Suroboyo yang gugur melawan pasukan sekutu
Korban berjatuhan itu karena pertempuran tidak seimbang. Sebagian besar pejuang hanya bermodal senjata seadanya seperti bambu runcing, sedangkan tentara sekutu dilengkapi senjata otomatis
Hari Pahlawan Nasional yang jatuh pada 10 November diperingati untuk mengenang jasa mereka yang telah berjuang memperebutkan Kemerdekaan Indonesia.
Penyiar Bung Tomo yang merupakan pahlawan Nasional membakar semangat para pejuang kala itu. Suaranya yang lantang menjadi ciri khas dari Bung Tomo.
Saat pertempuran terjadi di Surabaya, Bung Tomo membacakan pidatonya melalui radio.
Melalui stasiun radio, Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan rakyat.
Pidato Bung Tomo pada 10 November 1945 mampu menularkan semangat kemerdekaan saat peringatan Hari Pahlawan 2018. Apalagi, di dalamnya ada pekik Allahu Akbar!
Ya, pidato Bung Tomo tersebut telah sukses membakar semangat pejuang Indonesia, khususnya Surabaya dalam pertempuran yang kini dikenal sebagai Hari Pahlawan, 10 November.
Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 dari Divisi 23 Sekutu yang berkekuatan sekitar 5.000 tentara mendarat di Surabaya di bawah pimpinan Brigadir Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Setibanya di Surabaya, mereka segera masuk ke dalam kota dan mendirikan pos pertahanan di delapan tempat.
Awalnya, mereka ingin segera melucuti semua persenjataan yang telah dikuasai rakyat, namun karena memperoleh tetangan keras dari pemimpin Indonesia di Surabaya, akhirnya mereka mengalah.
Tanggal 26 Oktober 1945, dicapai kesepakatan antara pimpinan Indonesia dengan Brigadir Mallaby, yang isinya antara lain: