Mengenang Pertempuran 10 Nopember di Surabaya

  • Pamflet yang ditanda tangani Mayjen Hawthorn dinyatakan tidak berlaku.
  • Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan polisi diakui oleh sekutu.
  • Seluruh kota Surabaya tidak dijaga lagi oleh Sekutu, kecuali kamp-kamp tawanan dijaga tentara Sekutu bersama TKR.
  • Untuk sementara waktu Tanjung Perak dijaga bersama TKR, polisi, dan tentara Sekutu untuk menyelesaikan tugas menerima obat-obatan untuk tawanan perang.

Hasil perundingan untuk menyelamatkan pasukan Mallaby dari kekalahan total dipertegas oleh menteri penerangan sebagai berikut:

  • Pembentukan suatu Kontak Biro yang terdiri dari unsur pemerintah RI di Surabaya bersama-sama tentara Inggris.
  • Daerah pelabuhan dijaga bersama, yang ditentukan kedudukan masing-masing oleh Kontak Biro.
  • Daerah Darmo, daerah kamp interniran orang-orang Eropa dijaga oleh sekutu. Hubungan antara daerah
  • Darmo dan pelabuhan Tanjung Perak diamankan, untuk mempercepat proses pemindahan tawanan.
    Tawanan dari kedua belah pihak harus dikembalikan kepada masing-masing pihak.

Pada perundingan itu juga disepakati nama-nama anggota Kontak Biro dari kedua belah pihak. Dari Inggris ada 5 orang (Brigjen Mallaby, Kolonel L. H.O Pugh, Wing Commander Groom, Mayor M. Hudson, dan Kapten H. Shaw). Dari pihak Indonesia 9 perwakilan (Residen Sudirman, Doel Arnowo, Atmaji, Mohammad, Soengkono, Soeyono, Koesnandar, Roeslan Abdulgani, dan T. D Kundan selaku juru bahasa).

Pasca tercapainya kesepakatan Presiden Soekarno beserta rombongan kembali ke Jakarta pada pukul 13.00 WIB.

Tewasnya Mallaby

Pasca Presiden dan rombongan kembali ke Jakarta, di beberapa tempat masih terjadi pertempuran, sekali pun sudah diumumkan genjatan senjata. Untuk menghentikan pertempuran, para anggota Kontak Biro dari kedua belah pihak mulai mendatangi lokasi-lokasi yang masih terjadi pertempuran.

Pada pukul 17.00, tanggal 30 Oktober, seluruh anggota Kontak Biro pergi bersama-sama menuju satu lokasi pertempuran. Tempat terakhir ini adalah Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah. Gedung ini masih diduduki pasukan Inggris, dan pemuda-pemuda masih mengepungnya.

Setibanya di lokasi pertempuran, pemuda-pemuda menuntut supaya pasukan Mallaby menyerah. Mallaby tidak bisa menerima tuntutan itu. Setelah penolakan tersebut, terjadi insiden baku tembak yang mengakibatkan tewasnya Mallaby, Komadan Brigade 49 di Surabaya. Inggris menyalahkan pihak Indonesia yang telah melanggar gencatan senjata dan membunuh Mallaby.

Dari berbagai kesaksian mantan perwira Inggris di tempat kejadian, ternyata yang memulai tembakan adalah pihak Inggris, sesuai kesaksian Mayor Gopal tahun 1974. Penyebab tewasnya Mallaby sendiri masih menjadi misteri.

Ada yang mengatakan tertusuk bayonet dan bambu runcing pemuda, namun berdasarkan surat dari Kapten Smith kepada Parrot tahun 1973-1974, kemungkinan besar Mallaby terbunuh karena ledakan granat yang dilempar pengawalnya sendiri.

Reaksi Sekutu Pasca Terbunuhnya Mallaby

Pasca tewasnya Mallaby, baik Letnan Jenderal Christison, panglima AFNEI atau pun Mayor Jenderal Mansergh menyatakan, pihak Indonesia telah melanggar genjatan senjata dan secara licik membunuh Brigjend Mallaby. Dengan tuduhan tersebut, Inggris memperoleh alasan untuk memenuhi perjanjiannya dengan Belanda, yaitu membersihkan kekuatan bersenjata Indonesia.

Pihak Inggris menuntut pertanggung jawaban pihak Indonesia. Pada tanggal 31 Oktober 1945, Letnan Jenderal Christison, memperingatkan kepada rakyat Surabaya untuk menyerah, apabila tidak mereka akan dihancurkan. Rakyat Surabaya tidak mau memenuhi tuntutan tersebut, Kontak Biro Indonesia mengumumkan bahwa kematian Mallaby merupakan suatu kecelakaan.

Setelah mendapat penolakan, Divisi 5 Inggris yang berkekuatan 24.000 tentara di bawah komando Mayjend R. C. Mansergh mendarat secara diam-diam di Surabaya. Selain diperkuat oleh sisa Brigade 49, masih ditambah 1500 marinir, di bawah komando Rear Admiral Sir W. R. Patterson yang memimpin beberapa kapal perang.

Letjen Sir Philip Christison, melengkapi pasukan Inggris dengan pesawat tempur Thunderbolt, Mosquito, dan tank kelas Sherman, yang merupakan persenjataan tercanggih saat itu.

Kemudian, pada tanggal 7 November, Mansergh menulis surat kepada gubernur Soeryo, yang isinya menuduh gubernur tidak mampu menguasai keadaan, akibatnya seluruh kota dikuasai oleh perampok. Mereka dianggap menghalangi tugas sekutu, untuk itu Sekutu mengancam akan menduduki kota Surabaya. Serta memanggil Gubernur Soeryo untuk menghadap.

Dalam surat jawabannya tanggal 9 November, Gubernur membantah semua tuduhan Mansergh. Gubernur Soeryo mengutus Residen Sudirman dan Roeslan Abdulgani untuk menyampaikan surat balasan tersebut.

Di hari yang sama pukul 14.00, Mansergh menyampaikan ultimatum di Surabaya. Butir kedua dalam ultimatum itu diformulasikan sedimikian rupa sehingga mustahil untuk dipenuhi pemimpin sipil dan militer Indonesia. Berikut isi dari ultimatum dari Mansergh:

Seluruh pimpinan Indonesia, termasuk pimpinan gerakan pemuda, kepala polisi, dan kepala radio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg tanggal 9 November pukul 18.00. Mereka harus berbaris satu persatu membawa segala jenis senjata yang mereka miliki.

Senjata tersebut harus diletakkan di tempat yang berjarak 100 yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang Indonesia harus datang dengan tangan di atas kepala mereka, dan akan ditahan, dan harus siap untuk menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.

Bagi pemuda-pemuda bersenjata diharuskan menyerahkan senjatanya dengan berbaris dan membawa bendera putih. Batas waktu yang ditentukan adalah pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945. Apabila tidak diindahkan Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan darat, laut, dan udara untuk menghancurkan Surabaya.

Rakyat Surabaya dan Gubernur Soeryo Tolak Ultimatum Belanda

Mendapatkan ultimatum sedemikian rupa, para pemuda yang sudah siap siaga membuat pertahanan di dalam kota. Komandan Pertahanan Kota, Soengkono, pada tanggal 9 November pukul 17.00 WIB mengundang semua unsur kekuatan rakyat, yang terdiri dari komandan TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, TKR Laut untuk berkumpul di Markas Pregolan 4.

Soengkono mempersilahkan siapa pun yang ingin meninggalkan kota. Namun, mereka bertekad untuk mempertahankan kota Surabaya. Mereka membubuhkan tanda tangan pada secarik kertas sebagai tanda setuju, dan diteruskan dengan ikrar bersama.

Dengan adanya ultimatum ini, pemimpin Surabaya mengadakan pertemuan. Mereka melaporkan kepada presiden, namun hanya diterima oleh Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo. Menteri Luar Negeri menyerahkan keputusan kepada rakyat Surabaya. Secara resmi pada pukul 22.00, Gubernur Soeryo melalui radio, menyatakan menolak ultimatum Inggris.

Sebelum waktu ultimatum habis, kota Surabaya telah dibagi menjadi 3 sektor pertahanan. Garis pertahanan ditentukan dari Jalan Jakarta, tetapi penempatan pasukan agak mundur ke Krembangan, Kapasan, dan Kedungcowek. Garis kedua di sekitar Viaduct. Garis ketiga di daerah Darmo.

Pembagian tiga sektor meliputi sektor barat, sektor tengah, dan timur. Sektor barat dipimpin oleh Koenkiyat. Sektor tengah dipimpin oleh Kretarto, dan Marhado, sedangkan sektor timur dipimpin oleh Kadim Prawirodihardjo. Sementara itu, radio perlawanan yang dipimpin oleh Bung Tomo membakar semangat juang rakyat. Siaran ini dipancarkan dari Jln. Mawar No. 4.

Klimaks Pertempuran Surabaya

Tanggal 10 November 1945 pukul 06.00, setelah habisnya waktu ultimatum, Inggris mulai menggempur Surabaya dengan seluruh armada darat, laut, dan udara.

Pemboman secara brutal di hari pertama telah menimbulkan korban yang sangat besar. Di pasar Turi, ratusan orang tewas dan luka-luka. Inggris juga berhasil menguasai garis pertama pertahanan rakyat Surabaya.

Rakyat Surabaya tidak tinggal diam, mereka melakukan perlawanan atas serangan tersebut. Pertempuran yang tidak seimbang selama tiga minggu telah mengakibatkan sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, sebagian besar adalah warga sipil.

Selain itu, diperkirakan 150.000 orang terpaksa meninggalkan kota Surabaya, yang hampir hancur total terkena serangan Sekutu. Sementara di pihak Inggris tercatat 1.500 tentara Inggris tewas, hilang, dan luka-luka.

Penyelundupan para pejuang ke Surabaya pun masih berlangsung secara diam-diam. Mereka yang sebagian besar berasal dari kesatuan-kesatuan PRI (Pemoeda Republik Indonesia) itu menjalankan aksi-aksi gerilya kota secara sendiri dan nyaris tanpa koordinasi dengan pasukan Indonesia lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: