EDITOR.ID, Jakarta,- Virus Corona terus bermutasi membentuk varian baru. Terkini, virus Corona bermutasi menjadi virus E484K. Virus baru mutan dari Corona ini menyebar di Jepang. Namun kini virusnya menyusup ke Indonesia dibawa salah satu orang yang tertular.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menyebut, mutasi virus Corona E484K alias varian ‘Eek’ ternyata ditemukan di Indonesia setelah Kementrian ini melakukan tracing dan menemukan ada satu warga yang tertular.
Varian E484K merupakan hasil mutasi dari varian B.1.1.7. Dikhawatirkan, vaksin Corona yang ada saat ini tak mempan melawan infeksi akibat mutasi varian E484K itu.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Subandrio menjelaskan, mutasi E484K di Indonesia ditemukan pada pasien COVID-19 dengan infeksi varian B117 asal Inggris. Dari 10 pasien varian B117, 1 orang terkena virus dengan mutasi E484K.
Ia menambahkan, memang ada kemungkinan mutasi E484K atau varian Eek ‘lolos’ dari antibodi yang dibentuk oleh suntikan vaksin.
“Vaksin ini merangsang pembentukan antibodi. Antibodi punya spesifitas akan mengenal bagian tertentu dari virus, tidak seluruh bagian itu akan bisa dilawan. Hanya bagian tertentu saja oleh antibodi,” jelasnya sebagaimana dilansir dari detikcom, Senin (5/4/2021).
Memang, varian B117 terbukti manjur dilawan oleh vaksin Corona yang sudah ada. Akan tetapi, mutasi E484K yang sejauh ini ditemukan pada pasien COVID-19 varian B117 berpotensi berbeda, sehingga antibodi yang terbentuk dari vaksin tak bisa mengenali mutasi ini.
“Setiap antibodi punya spesifitas hanya menempel ke bagian tertentu si virus. Kalau bagian itu (mutasi virus) berubah, antibodi jadi nggak bisa menempel lagi, nggak bisa mengenali lagi. Itu yang dikhawatirkan. Setidaknya, dayanya akan menurun,” jelasnya lebih lanjut.
Namun Prof Amin menyebut, belum ada pembuktian lebih lanjut di laboratorium terkait efikasi vaksin Corona terhadap mutasi E484K.
Hingga kini, identifikasi mutasi-mutasi virus Corona termasuk E484K terus dilakukan. Pasalnya, mutasi ini bisa ada pada varian Corona lainnya seperti B1351 dari Afrika Selatan dan P1 dari Brasil.
Menurut Prof Amin, tidak perbedaan yang mencolok antara gejala infeksi mutasi E484K dengan mutasi Corona lainnya. Akan tetapi, penularannya berpotensi lebih cepat dibanding mutasi lainnya.
“Kekhawatirannya adalah yang utama, penularannya lebih cepat karena dia replikasinya lebih tinggi, lebih kuat sehingga dari situ dikhawatirkan akan lebih cepat menular dan menularkan ke banyak orang,” kata Amin.
Hal yang sama juga terjadi pada vaksin mRNA buatan Pfizer-BioNTech. News Medical dalam studi terbaru yang dilakukan peneliti di Swiss, China, dan Inggris menemukan bahwa kemanjuran vaksin mRNA Pfizer-BioNTech dalam mengidentifikasi mutated receptor-binding domain (RBDs) dari protein spike SARS-CoV-2 yang memiliki varian B.1.351 dan P.1, sangat terbatas.
Untuk diketahui, protein spike yang berbentuk paku di permukaan virus corona adalah pintu masuk virus ke sel manusia. Varian B.1.351 pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan, dan varian P.1 di Brasil.
Kedua varian tersebut memiliki mutasi E484K. Mutasi ini mampu menurunkan respons antibodi penetral yang dihasilkan oleh vaksin, terapi antibodi monoklonal, plasma pemulihan, dan infeksi alami.
Sementara itu, vaksin mRNA telah terbukti efektif melawan varian lain yang mengkhawatirkan seperti B.1.1.7. Varian B.1.1.7 pertama kali ditemukan di Inggris pada musim gugur lalu.
Temuan studi mungkin berimplikasi pada umur panjang model vaksin saat ini, yang didasarkan pada galur nenek moyang virus.
“Kemanjuran (vaksin mRNA) dalam mengenali (virus) berkurang hingga 10 kali lipat untuk varian B.1.351 dan P.1. Menunjukkan bahwa perlu pengembangan vaksin baru,” tulis peneliti.
“Mutasi E484K adalah rintangan utama untuk pengenalan kekebalan tubuh, plasma penyembuhan, terapi antibodi monoklonal, serta tes serologis berdasarkan urutan tipe liar.”
Studi ini tersedia sebagai laporan pracetak di laman bioRxiv dan masih menjalani tinjauan sejawat.
Penelitian Tim mengevaluasi ikatan antibodi reaktif silang yang dihasilkan setelah vaksinasi atau pemulihan infeksi alami terhadap sel darah merah protein spike dengan mutasi yang terkait dengan varian yang menjadi perhatian.
Ini termasuk RBD mutan K417N (RBD417), RBD mutan E484K (RBD484), RBD mutan N501Y (RBD501), dan versi RBD dengan mutasi di ketiga situs (RBDtrip).? Mutasi E484K dan N501Y terletak di area RBD yang memungkinkan interaksi langsung dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) dari sel inang manusia.
Tim mengumpulkan serum dari 11 peserta dengan plasma yang sudah sembuh dan 6 peserta yang divaksinasi dengan kedua dosis vaksin Pfizer-BioNTech. Serum dikumpulkan dari individu yang divaksinasi 2 minggu setelah dosis kedua.
Tim kemudian melakukan ELISA pada serum yang disumbangkan untuk mengukur respons antibodi.
Para peneliti menemukan, respons antibodi yang diinduksi oleh plasma penyembuhan sangat menurun ketika dihadapkan pada RBD417 (RBD mutan K417N) dan RBD501 (RBD mutan N501Y).
Selain itu, mereka hampir tidak menemukan aktivitas antibodi terhadap RBD484 (RBD mutan E484K) dan RBDtrip. Antibodi yang diproduksi oleh vaksin Pfizer-BioNTech menunjukkan pengikatan antibodi yang berkurang 2,5-3 kali lipat pada RBD417 dan RBD501.
Namun, ada pengurangan pengikatan 10 kali lipat dengan RBD484 dan RBDtrip. Para peneliti meyakini, mutasi E484K adalah penyebab utama di balik pengikatan antibodi yang berkurang karena ada di RBD484 dan RBDtrip.
Mereka menyarankan ini mungkin terjadi karena perubahan dari muatan positif ke negatif.
Saat mengevaluasi kekuatan pengikatan keseluruhan antara antibodi dan sel darah merah yang bermutasi, mereka menemukan antibodi plasma yang sembuh memiliki kekuatan pengikatan yang terbatas untuk versi tipe liar.
Antibodi yang dihasilkan oleh vaksin Pfizer-BioNTech memiliki kekuatan pengikatan yang lebih kuat terhadap RBD tipe liar daripada antibodi yang dihasilkan dari infeksi alami.
Ini juga menunjukkan beberapa sisa pengikatan ke RBD yang bermutasi, menunjukkan kekuatan pengikatan yang rendah.
Tim peneliti menyimpulkan bahwa individu dengan antibodi dari infeksi alami mungkin tidak terlindungi dari varian virus corona baru, terutama jika virus mengandung mutasi E484K.
Mengingat respon antibodi yang diinduksi vaksin lemah dalam mengidentifikasi mutasi dalam domain pengikatan reseptor, tim menyarankan perlunya vaksin yang lebih baru. (tim)