“Usia korban belasan tahun,” jelas Joko.
Tak sampai di situ. Di antara korban ada yang diancam akan dikeluarkan dari pondok pesantren jika menceritakan dirinya telah dilecehkan. Selain itu, santri juga diiming-imingi mendapatkan mendapatkan ilmu.
Tindakan bejat pelaku terungkap setelah salah satu korban tidak mau kembali ke pondok. Dia menceritakan bagaimana perbuatan MA kepada orang tuanya.
Setelah mendengar itu, keluarga korban tersebut berinisiatif mengumpulkan orang tua lain santriwati yang juga menjadi sasaran nafsu pelaku. Setelah itu mereka bersama-sama menemui MA didampingi salah satu tokoh masyarakat setempat.
Namun bukannya mengaku, pelaku justru mengelak dan mengatakan bahwa yang melakukan pelecehan adalah makhluk gaib atau jin.
“Kalau dia ngaku, minta maaf, kasus ini tidak berlanjut. Tahun lalu 2023. Ada yang Oktober, ada bulan Mei.
Selang beberapa waktu, salah satu keluarga korban bertemu pihak pelaku. Namun, istri pelaku mencetus dan mengelak perbuatan suaminya.
“Tapi dijawab ketus oleh istri pelaku, ‘emang anak kamu hamil. Ngapain ribut-ribut kalau ndak hamil’,” kata Joko mengikuti celetukan istri MA.
Itulah yang menyulut emosi warga hingga berujung pada perusakan gedung pondok pesantren.
Saat ini, sambung Joko, psikologi korban masih mengalami tekanan. Beruntungnya pihak keluarga dengan kepala dingin membantu memperbaiki kondisi anak-anaknya.
Kaburnya MA juga dibenarkan Kapolres Lombok Barat, AKBP Bagus Nyoman Gede Junaedi. “Pelaku masih dicari dan belum ditemukan,” katanya kepada NTBSatu.
Diakui Kapolres, pihaknya telah menerima laporan dari korban. Saat ini sejumlah saksi, termasuk korban telah dimintai keterangan. Kepolisian juga masih menunggu hasil visum.
“Kasusnya masih di penyelidikan,” jelasnya.
Jumlah korban, sambung Junaedi, lebih dari satu. Saat disinggung apakah di antara santriwati sudah ada yang disetubuhi, Kapolres mengaku belum bisa menjawab.
“Untuk persetubuhan, nanti tergantung hasil visum. Saat ini (visum) belum kami kantongi,” tutupnya. (KHN). (tim)