Dwikorita melanjutkan bahwa ada 13 segmen zona megathrust di Indonesia. Di mana, masih ada dua yang segmen yakni Megathrust Selat Sunda-Banten potensi M8,7 dan segmen Megathrust Mentawai-Siberut potensi M8,9 yang sudah lama tidak melepaskan energi besarnya.
“Dan kebetulan kan di antara segmen-segmen megathrust yang 13 itu, ada 2 segmen yang seharusnya sudah saatnya, periode ulangnya bergerak, sudah 200 tahun lebih. Yang lain sudah lepas menjadi gempa,” papar Dwikorita.
“Nah, ini ada banyak segmen. Segmen yang 11, ini sudah lepas. Dengan magnitudo beragam ya. Nah, ini yang ditonjolkan adalah magnitudo yang tinggi. Yang kecil-kecil itu enggak dibahas ya. Yang tinggi M8,4, M8,7, M8,5, sudah lepas. Nah, yang belum itu adalah segmen nomor 7 (Megathrust Selat Sunda-Banten potensi M8,7) dan segmen nomor 4 (Megathrust Mentawai-Siberut potensi M8,9),” papar Dwikorita sambil menunjukkan data.
Dari catatan-catatan itu, kata Dwikorita, BMKG menginisiasi terbentuknya Konsorsium Gempabumi dan Tsunami di Indonesia.
“Menurut para pakar, para pakar gempa di Indonesia itu banyak. Makanya kami juga membentuk Konsorsium Gempabumi dan Tsunami nasional. BMKG sangat membutuhkan konsorsium itu karena di situlah sumber ilmu dan ilmunya sangat dibutuhkan untuk pengembangan inovasi teknologi yang ada di BMKG,” pungkas dia.
Masyarakat Tak Perlu Khawatir Berlebih
Sebelumnya, BMKG sudah memprediksi gempa besar yang melandai Nankai di Jepang Selatan. Hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Gempa bumi dan Tsunami BMKG Daryono.
“Hasil pemodelan tsunami oleh BMKG menunjukkan adanya status ancaman ‘waspada’ dengan tinggi tsunami kurang dari setengah meter dan akhirnya terkonfirmasi, memang tsunami terjadi di Pantai Miyazaki Jepang dengan ketinggian 31 cm dan tidak merusak,” kata Daryono beberapa waktu silam.
Daryono mengatakan kekhawatiran ilmuwan Jepang terhadap Megathrust Nankai saat ini sama persis yang dirasakan dan dialami oleh ilmuwan Indonesia, khususnya terhadap Seismic Gap Megathrust Selat Sunda (M8,7) dan Megathrust Mentawai-Suberut (M8,9).
Namun demikian masyarakat di Indonesia tidak perlu khawatir karena apa yang terjadi di Jepang dapat dipantau secarareal timeoleh BMKG.
“Tak perlu khawatir karena kami dapat analisis dengan cepat termasuk memodelkan tsunami yang bakal terjadi dan dampaknya menggunakan system InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System), sehingga BMKG akan segera menyebarluaskan informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami di seluruh wilayah Indonesia, khususnya wilayah Indonesia bagian utara,” ujar Daryono.