Oleh : Dahlan Iskan
PADA balapan vaksin dunia ini, Indonesia bisa menyalip di tikungan. Bisa seperti pembalap Michael Schumacher atau Valentino Rossi dulu.
Pembalap kita adalah: dokter cum Jenderal Terawan Putranto.
Johnson & Johnson menyalip Pfizer dan AstraZeneca, dengan penemuannya: cukup satu kali suntik. Pfizer sendiri menyalip Tiongkok-Sinovac dalam hal afikasi yang lebih tinggi: 95 persen.
Kini Vaksin Nusantara-nya dokter Terawan akan menyalip di banyak tikungan sekaligus.
Mulai bulan Mei nanti. Tidak lama lagi.
Kalau, BPOM bisa mengeluarkan izin pemakaian darurat di bulan itu.
Uji coba pendahuluan sudah diselesaikan. Aman.
Uji coba tahap I sudah pula selesai. Hasilnya sudah dilaporkan ke BPOM. Juga sudah dilaporkan ke badan kesehatan dunia WHO.
Dari uji coba tahap I itu terlihat tidak satu pun relawan yang terkena efek samping. Berarti vaksin ini aman.
Minggu ini diharapkan badan obat dan makanan Indonesia itu mengizinkan dilakukannya uji coba lanjutan: uji coba tahap II. Dengan jumlah dan variasi relawan lebih banyak. Dengan variasi dosis lebih luas.
Pun kalau sukses, BPOM akan mengizinkan lagi segera dilakukan uji coba tahap II. Dengan demikian izin pemakaian darurat bisa didapat awal Mei 2021.
Bukan main kebanggaan nasional kalau itu terwujud.
Kalau semua tahapan sisa itu lancar maka Indonesia benar-benar akan bisa menyalip di tikungan. Sekaligus di banyak kelokan.
Pertama, Vaksin Nusantara ini akan bisa di tubuh kita seumur hidup. Tidak seperti vaksin yang sudah ada: hanya bertahan 1 tahun. Ada yang bilang hanya 9 bulan. Bahkan lebih pendek lagi.
Artinya, kalau pandemi tidak selesai 6 atau 9 bulan lagi kita harus vaksinasi lagi.
Kedua, suntiknya hanya sekali –pun tidak sakit. Lokasi penyuntikan tetap di lengan tapi tidak perlu dalam. Cukup mencapai bagian lemak. Karena itu arah jarum suntiknya tidak harus tegak lurus. Tidak seperti suntik vaksin yang ada selama ini: jarumnya harus mencapai otot lengan. Harus dalam. Posisi jarum pun harus tegak-lurus. Rasa sakit dari suntik vaksinasi yang ada sekarang ini timbul akibat teknik penyuntikan yang harus seperti itu.
Ketiga, tidak perlu disimpan di suhu dingin. Cukup di ruangan biasa. Puskesmas yang kulkasnya sudah penuh pun tidak harus beli kulkas baru. Pun kalau listrik mati. Tidak membuat Vaksin Nusantara sampai rusak. Berarti cocok sekali dengan kondisi Indonesia.
Indonesia benar-benar tiba-tiba unggul.
“Kan ini teknologi Amerika. Mengapa disebut Vaksin Nusantara?” tanya saya.
“Karena di Amerika sendiri belum dikembangkan. Pengembangan pertamanya dilakukan di Indonesia. Dengan peralatan sepenuhnya buatan Indonesia,” ujar Haryono Winarta.