Pertama, bagi penentang UU Cipta Kerja, rezim ini harus introspeksi dan bertanggung jawab atas kulminasi persoalan itu. Gerakan class action secara meluas akan menggema dengan satu tema, mengapa rezim memaksakan kebijakan yang melawan kepentingan rakyat yang jelas-jelas ada dalam lindungan konstitusi.
Kedua, anasir DPR pro pemerintah, sekali lagi diluar Demokrat dan PKS, harus bertanggung jawab mengapa suara rakyat tak dihiraukan. Kenapa jeritan buruh dan pekerja dianggap angin lalu. Mengapa pimpinan sidang mematikan mikrophone saat terjadi intrupsi saat menyampaikan sikap politik legislasinya?
Dua catatan itu, rezim dan kompradornya di parlemen, boleh jadi “layak†digugat secara hukum sebagai aktor utama gaduh dan “perusak†negeri ini. Melalui fakta politik hukum, sikap itu memungkinkan diproses menjadi hal yang lebih mendasar seperti impeachment.
Memang, sangat kecil kemungkinannya sampai pada tahap pelengeseran, mengingat kekuatan pendorong pelengseran itu hanya minoritas di parlemen.
Karena itu pula, kekuatan yang bersifat alamiah: kekuatan eksternal parlemen menjadi sangat menentukan. Apalagi sekali lagi ormas besar negeri ini, NU dan Muhamadiyah seperti diberitakan sudah keluarkan instruksi tolak dan bergerak.
Pengalaman sejarah 1998 bisa menjadi pelajaran, dimana daya dobrak kekuatan ekstra parlemen meruntuhkan kekuasaan. Memang perlu “jihad†besar, perlu waktu, tenaga dan konsistensi.
Tapi bukannya tidak mungkin kekuatan eksternal akan menjadi kenyataan. People power bukanlah fatamorgana. Yang bagi mayoritas kalangan dianggapnya sebagai sunatullah.
Sebuah renungan, akankah UU Cipta Kerja terus disahkan?. Apakah karpet merah asing mau mengorbankan pasal 33 UUD 1945?. Jika lanjut, maka bisa jadi masa depan kekuasaan ada diujung tanduk. Agaknya perlu direnungkan dengan nurani bersih. Kita lihat saja.