Oleh Pandu Dewa Natha
Penulis adalah Founder Indonesia Berkibar
The hell with it “Emang gue pikirinâ€. Barangkali, itulah kalimat yang terletup dari para anggota DPR RI, kecuali dari Fraksi Demokrat dan PKS saat membaca reaksi publik yang terviral keras di berbagai media sosial sebagai bentuk kecaman akibat persetujuan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Kita tidak bisa memahami reaksi egois para anggota Dewan dari Fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, PPP, NasDem, PKB dan PAN yang menyetujui perangkat hukum yang “membunuh†masa depan para pekerja dan buruh di Indonesia.
Jika ada aturan Mosi Tidak Percaya dalam pemerintahan negeri ini. Bisa jadi, diluar Demokrat dan PKS, lembaga legislative itu sudah pasti terkena kartu merah bersama rezim penguasa saat ini.
Sayangnya konstitusi kita tak mengenal aturan mosi tak percaya. Sistem presidensial tak mengaturnya. Maka, jangankan mosi tak percaya yang dilantangkan dari pihak luar parlemen, dari dalam Gedung Senayan pun tak bisa.
Meski demikian, suara lantang dari pihak luar parlemen punya makna yang sangat substantif. Reaksi dari kalangan luar, termasuk dari dua ormas besar NU dan Muhamadyah seperti diberitakan, merupakan refleksi dari sikap penolakan atas persetujuan UU Cipta Kerja yang disahkan menjadi UU.
Sangat dipaksakan, terkesan kejar target dan tampak ada unsur “pesananâ€. Dan akhirnya, bisa jadi menjadi bagian politik balas jasa kepada para “ïnvestor†yang berandil besar atas kenaikannya ke tangga kekuasaan.
Hal itu tentu mengundang tanya penuh kecurigaan. Terlepas dari itu, sekali lagi bisa dimaklumkan jika banyak elemen curiga dengan kejar tayang dari lembaga legislatif kita.
Apa parlemen kita sudah menjadi alat kepentingan kekuasaan yang kini ‘tunduk” pada kemauan asing tertentu dan swasta raksasa?. Apakah persetujuannya bagian dari ‘persekongkolan’ dengan para penyandang dana yang telah mengantarkannya ke singgasana?
Atau,persetujuannya merupakan konsekuensi politik koalisi dengan rezim? Hanya mereka yang bisa menjawabnya dengan jujur, meski sangat tak mungkin mengungkapkan kejujurannya.
Tak perlu dijawab. Yang jelas, UU Cipta Kerja terdapat banyak kejanggalan, terlepas ada beda visi antara pemerintah dan publik. Akan tetapi kejanggalan menyeruak, dintaranya penghapusan upah minimum regional (kabupaten/ kota dan provinsi).
Penetapan UMR/P diganti berdasarkan kebutuhan layak hidup (KLH). Kerangka UU Cipta Kerja itu juga meniadakan istilah karyawan tetap, diganti dengan kontrak seumur hidup.