Pengamat Hukum Urbanisasi bersama President Kongres Advokat Indonesia (KAI) Tjoetjoe Hernanto disela-sela pelantikan advokat di Jakarta (foto ist)
EDITOR.ID, Jakarta,- Pengamat hukum dari Universitas Tarumanegara Dr Urbanisasi, SH MH, CLA, CLI menilai UU Terorisme yang baru saja disahkan DPR akan menjadi payung hukum bagi penegak hukum untuk melakukan penindakan dan pencegahan sebelum pelaku teror mengancam jiwa umat manusia.
Undang-Undang Anti Terorisme ini, lanjut Urbanisasi akan saling melengkapi dengan aturan dalam menghadapi kejahatan extra ordinary yang belum diatur atau bertentangan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai ‘kitab suci’ penanganan tindak pidana, termasuk terorisme.
“UU Terorisme harus dipandang sebagai upaya mengembalikan Polri sesuai fungsinya sebagai penegak hukum,” ujar Urbanisasi di Jakarta, Minggu (27/5/2018)
Dalam menghadapi kejahatan luar biasa terorisme, lanjut Urbanisasi Polri diberi kewenangan menangkap, melidik dan menilai sendiri secara subjektif alat-alat bukti sebagai bukti permulaan yang cukup. Polri juga yang melakukan penyidikan sampai melakukan perampasan nyawa, harta benda dan penahanan terduga teroris.
Menurut Urban, dalam konteks kewenangan yang nyaris mirip kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu, Polri harus diatur oleh landasan hukum yakni UU Tindak Pidana Terorisme yang saat ini sudah disahkan DPR.
“Jika kewenangan Polri yang sangat besar itu tidak diatur dan dibatasi oleh UU akan sangat riskan. Akan berpotensi melanggar HAM,” ujarnya.
Menurut Urban, UU Terorisme ini akan memperkuat kewenangan aparat untuk melakukan pencegahan pada aspek menutup akses persenjataan, bahan peledak, mengeloa jaringan, memonitor teknologi. Yang menarik UU ini juga memberikan perlidungan terhadap korban.
“UU Tindak Pidana Terorisme tidak sekadar mengatur soal penindakan tapi juga bagaimana melakukan pencegahan, bagaimana mencari akar permasalahan dan latar belakang aksi teror terjadi kemudian menghentikannya,” kata Urban.
UU ini, lanjut Urbasasi, menjadikan aparat penegak hukum lebih taat hukum dan hak asasi manusia. Setidaknya dengan memanusiakan manusia dapat membasmi aksi terorisme menjadi lebih efektif.
Menurut Urbanisasi, ada empat hal penting yang perlu diperhatikan dari kegiatan teroris, yaitu penggalangan, perekrutan, persiapan dan pelaksanaan.
Dari empat hal itu, tiga di antaranya tidak bisa dijangkau Polri. Untuk menjangkau itu membutuhkan peran Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI. Apalagi dalam hal letak geografis Indonesia memiliki pintu masuk yang sangat banyak.
Soal penindakan, kata Urban, Polri sendiri tidak sanggup. Dia mencontohkan soal Santoso di Palu yang baru bisa dilumpuhkan setelah ada peran TNI. Belum lagi bila ada teror di laut dan udara.
TNI, kata Urbanisasi, memiliki satuan khusus di tiga matra sekaligus. Sebut saja Den 81 Gultor Kopassus, Denjaka Marinir, dan Den Bravo Paskhas. “Di sini bisa diisi atau sekaligus mengganti Densus 88,” katanya.
Dalam penanganan teroris, lanjut Urbanisasi perlu dilakukan koordinasi antar lintas lembaga pemerintah. Bukan hanya melibatkan aparat TNI dan BIN, tetapi juga bisa menggunakan seluruh instrumennya, seperti Kementerian Agama, Kementrian Pendidikan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sosial.
“Dimana pada saat dan setelah terpidana teroris itu selesai menjalani pidana, pada tahap ini harus ada peran dari Kementerian Agama, dan setelah keluar tahanan pada tahap ini harus ada peran Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sosial untuk melakukan deradikalisasi,” katanya.
Menurut Urbanisasi, deradikalisasi seringkali diartikan sempit oleh negara, yakni hanya penyuluhan agama. Padahal, ada juga yang penting, yaitu memerhatikan pendidikan (Kementerian Pendidikan).
Juga lapangan pekerjaannya agar mantan napi teroris tidak lagi dikucilkan dalam masyarakat dan dapat hidup normal. “Kalau tidak (hidup normal di masyarakat), dia dapat lebih radikal dari sebelumnya,” kata Urbanisasi. (tim)