“Kalau nggak salah itu kan masih dalam rangka pilpres ya, itu kan memang kebablasan lah, kan itu narasi permusuhan, narasi kebencian, berlebihan lah, menurut saya itu tidak baik. Oleh karena itu, supaya tidak diulangi lagilah yang seperti itu,” kata Ma’ruf di Istana Wapres, Jakarta Pusat, Rabu (4/12/2019).
Ma’ruf menegaskan tak akan melaporkan Habib Jafar ke polisi. Dia berharap Habib Jafar bisa berubah ke arah yang lebih baik.
“Oh tidak, mudah-mudahan tentu dia bisa menyadari saja dan mengubah cara bernarasi, jangan menyampaikan pesan-pesan… agar lebih baik,” ujar Pak Kiai yang pernah menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia ini.
“Kalau bagi saya itu memang harus memaafkan orang yang memang lagi, bagaimana yah, depress. Ya kebablasan saya kira itu,” sambung ulama yang setiap berucap penuh kesejukan ini.
Sosok KH Ma’ruf Amin sudah dikenal masyarakat luas sebagai ulama yang ahli di bidang dakwah dan ilmu fiqih.
Tentu saja di balik itu, ia memperoleh ilmu tidak dari guru dan tempat sembarangan.
Bahkan, ia dijuluki sebagai “Santri Kelana†yang selama mudanya gemar belajar dari satu tempat ke tempat yang lain.
Sanad keilmuan Kiai Ma’ruf bersambung dengan jalur para ulama Nusantara yang mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).
Sebagaimana dilansir dari NU Online, pertama-tama, Kiai Ma’ruf belajar kepada ayahnya, Kiai Muhammad Amin, yang terkenal sebagai ahli fiqih. Kiai Amin belajar di Makkah selama 15 tahun, antara lain mengambil sanad keilmuan dari Sayyid Alawi Al-Maliki di Makkah.
Kiai Amin menjadi guru banyak kiai di seputar Banten, mengajarkan kitab Al-Mahalli, Tuhfah, Al-Muhadz-dzab, dan lain-lain.
Lalu Kiai Ma’ruf belajar kepada kakeknya dari Ibu, Kiai Muhammad Ramli, yang mengambil sanad keilmuannya di Makkah, antara lain, dari Syekh Mahfuzh At-Tarmasi, ulama asal Tremas Pacitan yang menjadi guru para ulama NU.
Kiai Ramli memberinya ijazah doa-doa yang diamalkan Kiai Ma’ruf sampai sekarang.
Lalu ia belajar sebentar di Perguruan Islam Citangkil, Cilegon, sebelum melanjutkan penjelajahan ilmunya ke Tebuireng, Jombang.
Sepulang dari Tebuireng, Kiai Ma’ruf yang masih haus ilmu, belajar secara tabarrukan di tiga pesantren, yaitu di Caringin (Labuan Pandeglang), Petir (Serang), dan Pelamunan (Serang).
Setelah bermukim di Jakarta, ia melanjutkan pencarian ilmunya kepada Kiai Ahmad Mi’an dan Kiai Usman Perak di Masjid Al-Fudlola, sebuah masjid yang bersejarah di Tanjung Priok.
Ia juga mengambil sanad keilmuan dari Habib Ali bin Husein Al-Attas yang dikenal sebagai Habib Ali Bungur.