EDITOR.ID, Jember,- Berbagai aliran dan ajaran muncul ditengah masyarakat yang pedoman dan rujukannya tak jelas. Apakah ia bagian dari ritual agama. Pasalnya, ajaran ini kadang menyesatkan pengikutnya dan bahkan menggunakan doa dan simbol agama tertentu untuk menarik pengikut.
Namun yang terjadi justru banyak ajaran yang disalahgunakan. Diantaranya ajaran dari Kelompok Tunggal Jati Nuantara. Mereka memiliki ajaran ritual beredam di laut. Namun mengindahkan keamanan dan keselamatan hanya karena keyakinan.
Akibatnya sebanyak 11 orang tewas dari total 23 korban Kelompok Tunggal Jati Nuantara terseret ombak di Pantai Payangan Jember, Jawa Timur, Minggu (13/2/2022). Disaat mereka melakukan ritual aneh.
Mereka disinyalir melakukan ritual mandi di laut untuk buang sial dini hari Minggu.
Diketahui 23 orang anggota kelompok berasal dari Kecamatan Panti, Patrang, Sukorambi, Sumbersari, Aung dan Jenggawah.
Mereka berangkat dari titik berkumpul di Desa Dukuhmencek Kecamatan Sukorambi langsung menuju Payang, Sabtu malam pukul 23.00 WIB.
KH Abdul Haris Ketua MUI Jember melalui kanal Youtube TVone menilai ritual buang sial itu tidak dibenarkan dalam Islam.
“Ritual mengatasnamakan apakah itu membuang sial dan seterusnya itu di dalam Islam sama sekali tidak dibenarkan,” katanya seperti yang dikutip Indozone, Selasa (15/2/2022).
Menurutnya semua masalah atau kesulitan hidup merupakan cobaan dari Yang Maha Kuasa, Alla SWT. Oleh sebab itu kita sebagai manusia hanya bisa menerima dan melakukan ikhtiar untuk mengatasi masalahnya. Bukan malah melakukan ritual menolak sial.
Ini terlepas dari pemimpin kelompok Tunggal Jati Nusantara, Nur Hasan apakah memiliki kemampuan istimewa atau tidak.
“Tidak ada daya dan kekuatan sedikitpun yang dimiliki manusia, ketika kemudian manusia memiliki daya dan kekuatan, itu tidak lain karena bantuan dan pertolongan Allah,” bebernya.
Ketika prinsip ini tertanam di masyarakat, maka mereka tidak bakal terprovokasi atau terbawa pada ajakan melakukan ritual di laut tersebut.
Menurut Haris peristiwa menolak bala di lakukan di pantai, pernah terjadi pada sekitar empat tahun lalu, namun sekarang terulang kembali.
Sebenarnya kejadian ini tidak sering terjadi. Mereka hanya lah kelompok kecil yang kegiatannya di luar pantauan MUI.
“Maka ketika peristiwa ini terjadi kami agak kebingungan juga dan langsung mencari informasi tentang siapa ini. Jadi sejak awal tidak terpantau oleh kami,” kata Haris.
Menurutnya dari sisi kajian saat berlangsung di rumah tidak ada yang aneh pada kegiatan mereka, namun setelah itu dilakukan di pantai baru ketahuan. Ada sesuatu yang aneh.
“Kalau dari sisi bacaan sholawat tidak ada yang aneh, kemudian menjadi aneh ketika ritual dilaksanakan di pantai, apalagi ketika ombak besar, dan konon katanya sudah dilarang. Itu yang jadi masalah,” katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Ia mengaku pihaknya baru mengetahui kelompok tersebut setelah tragedi maut yang terjadi di Pantai Payangan Jember pada Minggu (13/2/2022), sehingga MUI Jember tidak punya banyak data terkait dengan ritual yang dilakukan Padepokan Tunggal Jati Nusantara.
“Kami coba menelusuri dari video yang sudah viral dan teman-teman di Dukuhmencek, Kecamatan Sukorambi. Dari tayangan video itu, kami menegaskan bahwa dari sisi bacaan tidak ada yang aneh,” tuturnya.
Menurutnya, Pantai Payangan yang dijadikan lokasi ritual yang menjadi masalah karena seakan-akan kelompok tersebut memiliki keyakinan bahwa ritual yang dilakukan di pantai lebih bagus dibandingkan tempat yang lain.
“Padahal, sesuai ajaran agama Islam sudah jelas bahwa tempat istimewa untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT agar diberikan kemudahan dalam segala hal adalah masjid dan tempat ibadah,” katanya.
Ia menjelaskan pihaknya akan berkoordinasi dengan Komisi Fatwa untuk melakukan wawancara dan mencari data terkait Kelompok Padepokan Tunggal Jati Nusantara di Dukuhmencek.
“Bisa jadi orang-orang di kelompok itu serius punya sesuatu yang diajarkan kepada orang lain, namun kami belum bisa menjawab hal itu, karena kami masih kumpulkan data dan informasi,” ujarnya.
Sementara itu, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan kejadian ritual di Pantai Payangan itu mengingatkan kembali terkait adanya fenomena patologi sosial yang banyak terjadi di masyarakat.
Patologi sosial, yakni penyakit sosial atau gejala sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat baik, yang ingin cepat kaya, ingin digdaya, dan lain- lain, yang ingin cepat tercapai tujuannya.
Patologi sosial yang terjadi di masyarakat, lanjutnya, salah satunya keinginan cepat kaya secara instan, ingin tercapai segala cita-citanya melalui langkah pendek, sehingga pihaknya ingin mengajak perguruan tinggi untuk hadir menjadi bagian dalam mencari solusi dari fenomena tersebut.
“Saya menyarankan, jika punya masalah dan ingin mendekat kepada Allah SWT, sebaiknya berzikir dan mencari tempat yang tenang, bukan tempat yang berbahaya,” tuturnya. (tim)