Oleh: DR. Kristiya Kartika*
KETIKA terlibat dalam Manajemen aktivitas Proyek Technical Assistance Second East Java Urban Development Programme ( TA-EJUDP II ) Loan IBRD No. 4017-IND, Paket : PPDS-5C, Pekerjaan DED & Supervisor Urban Road Local Government Region 1 dan Region 2 pada sekitar akhir 1996, penulis seperti juga banyak kalangan, kala itu semakin meyakini bahwa kedepan posisi kota akan selalu alami berbagai permasalahan dalam perkembangan.
Salah satu aspek pendorongnya adalah urbanisasi, yang ditandai pindahnya masyarakat pedesaan ke area kota, khususnya karena lebih banyak tersedianya fasilitas berbagai kehidupan serta kebutuhan di perkotaan.
Sebenarnya fenomena urbanisasi telah berlangsung sejak Revolusi Industri Pertama pada abad ke-18 hingga abad ke-19. Sebelumnya, pada era pra-industri sekitar 80 % penduduk tinggal di pedesaan dengan mengandalkan hasil pertanian dan peternakan sebagai penyangga kehidupannya. Revolusi pertanian dan peningkatan industri, khususnya yang terjadi di Inggris Raya, telah mengurangi potensi kehidupan di pedesaan. Sehingga menyebabkan migrasi besar-besaran ke kota.
Kondisi yang agak berbeda terjadi dibelahan dunia yang lain, khususnya di negara-negara yang tergolong sedang berkembang, termasuk Indonesia.
Sampai pada saat proyek tersebut diatas ( TA-EJUDP II ) dikerjakan, hasil sensus penduduk memberikan angka mayoritas jumlah penduduk Indonesia berada di pedesaan. Namun demikian, prediksi akan bergesernya posisi dominasi jumlah penduduk ke kota sudah menjadi bahan diskusi intensif dan menarik diberbagai forum.
Opini yang menyertai diskusi peran kota terus bergerak secara dinamis. Sebagian opini para ahli dan pengamat mendukung kecenderungan posisi kota yg akan semakin strategis serta menyimpulkan Urbanisasi sebagai upaya utama guna memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat serta meningkatkan kesejahteraannya.
Opini lain yang berbeda justru mengkawatirkan Urbanisasi. Karena desa akan menjadi wilayah yang ?kosong?, baik dalam dimensi kuantitas penduduk; minimnya dinamika masyarakat yg memiliki ciri khas ke-Indonesiaan; dan semakin berkurangnya kekayaan alam serta potensi lain dipedesaan yang diperhatikan serius oleh masyarakat an sich atau pemerintah. Pendapat yang mengkritisi Urbanisasi ini sejak lama sudah berpretensi desa yang ditinggal masyarakatnya ke kota akan dimasuki investasi perkotaan bahkan bersegmentasi global.
Bukan mustahil lama kelamaan masyarakat yang tersisa tinggal di desa mengalami semacam ?keterasingan? di wilayahnya sendiri, dengan masuknya gaya hidup perkotaan dengan segala konsekuensi logisnya. Masuknya kelompok sosial baru ini di prediksi akan melahirkan berbagai ?social changes? (perubahan sosial) yang ditandai berubahnya nilai-nilai dasar dan instrumen yang sudah diyakini masyarakat sejak lama pada sektor sosial, ekonomi, politik dan kultural. Ujung-ujungnya terjadi proses eksploitasi atas komunitas pedesaan sekaligus kekayaan alamnya.
Sementara itu terakumulasinya mayoritas jumlah penduduk di perkotaan memang juga akan melahirkan beberapa dinamika dan permasalahan baik yang bisa dikelompokkan dalam dimensi positif maupun negatif. Muara persoalan yang perlu dikaji terus menerus secara kritis, kreatif tapi tetap obyektif atas pembangunan/pengembangan kota adalah banyak yang mengkaitkan dengan ?terlandanya/terpengaruhnya? masyarakat kota, oleh nilai-nilai sosial baru (positif dan negatif) Neo-liberalisme?. Khususnya melalui sentuhan berbagai kepentingan yang melekat pada program investasi.
?Tekanan? Pada Birokrasi Kota
TERLEPAS dari menggemuruhnya diskusi-diskusi saat itu (1996) tentang kota dan peran strategisnya, secara faktual sejak beberapa waktu lalu hingga kini, Urbanisasi di Indonesia telah berlangsung dengan cukup deras. Berlangsungnya Urbanisasi mengundang beberapa kewajiban moral dan konstitusional di berbagai Negara khususnya yang tergolong ?sedang berkembang? (developing countries) dan Lembaga Dunia untuk menyusun perencanaan dan pelaksanaan yang antisipatif terkait kepentingan masyarakat di perkotaan.
Urbanisasi melahirkan tantangan-tantangan baru yang harus dijawab agar masyarakat kota bisa menikmati kesejahteraan, keamanan, kenikmatan, keterhubungan, kesehatan, pendidikan, dan profesi yang makin bagus.
Misalnya seperti diungkapkan oleh Director Finance, Economics and Urban Development Department The World Bank, Zoubida Allaoua, sekitar sepuluh tahun lalu, bahwa pertumbuhan penduduk perkotaan sedang alami pecepatan yang signifikan. Bahkan ditegaskan, pertama kali dalam sejarah, lebih dari 50% penduduk dunia (3,3 milyar) pindah ke wilayah perkotaan. Diperkirakan pada 2030, jumlah penduduk di perkotaan ini meningkat menjadi 5 milyar orang. Sedangkan fenomena Urbanisasi tersebut, 90% terjadi di ?developing countries?, yang tentu saja masuk didalamnya Indonesia.
Yang cukup menarik untuk diantisipasi, adanya ?warning? para pengamat bahwa Urbanisasi sebagai ?ancaman?. Seperti yang pernah penulis ungkapkan juga dalam tulisan terdahulu berjudul ?Reformasi Birokrasi Antisipasi Masalah Strategis Rakyat, Perspektif Pembangunan Kota? ( Editor.Id 12 September 2020, dan Poros Palapa.com 11 September 2020), salah satu ?ancaman? serius kedepan khususnya bagi negara-negara sedang berkembang adalah Urbanisasi.
Pertumbuhan ?unprecedented? ( tidak pernah terjadi sebelumnya) melahirkan beberapa ?tekanan?, berupa tuntutan kepada Pemerintah Kota yang secara substansial berupa tekanan agar aparat birokrasi lebih adaptif, kritis, peka terhadap harapan/keinginan masyarakat, kreatif dan prospektif. Tuntutan yang diharapkan berupa pembangunan infrastruktur kota, kebijakan penetapan Zonasi, yang mendukung kepentingan masyarakat kota, baik ekonomi, politik maupun sosial.
Mengantisipasi berbagai harapan maupun tuntutan atas posisi strategis kota, menjadikan Perencanaan Tata Ruang, khususnya rencana yang lebih detil, seperti Rencana Detil Tata Ruang (RDTR), semakin penting untuk dievaluasi dan dikaji terus menerus aktualitasnya dan kegunaannya, agar senantiasa bermanfaat secara kongkrit bagi masyarakat.
RDTR berkaitan erat dengan upaya pengaturan optimalisasi pemanfaatan ruang. RDTR merupakan pengejawantahan atau penjabaran lebih lanjut dari Rencana Tara Ruang Wilayah (RTRW). Keduanya merupakan produk hukum. Untuk keperluan pengaturan tata ruang dalam praktek, RDTR secara faktual lebih diperlukan dibandingkan RTRW. Karena RTRW belum bisa dijadikan dasar dalam pemberian izin pemanfaatan ruang.
Disisi lain dalam perspektif penataan ruang khususnya perkotaan, RDTR juga lebih ?operasional? sehingga lebih dibutuhkan masyarakat dibandingkan Rencana Tata Bangunan Lingkungan (RTBL). Karena materi pengaturan dalam RDTR lebih memiliki kepastian pemanfaatan ruang dalam realisasinya. RTBL memang berkaitan erat dengan terbitnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Namun RDTR yang menentukan fungsi ruangnya, dengan penguatan dari Peraturan Zonasi (PZ).
Meski secara substansial, sebuah RDTR tidak mengatur atas kepemilikan ruang (lahan) tapi hanya mengatur penggunaan ruang/lahan, namun implikasi yang bisa lahir atas penataan ruang yang tidak diwarnai kepentingan masyarakat, terlebih ruang di perkotaan, membuka peluang munculnya berbagai protes bahkan penolakan oleh masyarakat.
Sebagai ilustrasi misalnya, karena lahan yang dimiliki seseorang atas pertimbangan kepentingan yang lebih luas diatur dalam tata ruang kota menjadi lahan yang berfungsi sosial, bisa melahirkan konflik tersendiri, karena lahan tersebut tidak memiliki nilai ekonomi yang bagus. Bahkan kerap terjadi semacam ada ?gap? antara elemen birokrasi yang menangani ?implementasi? pengaturan fungsi atas tanah/lahan perkotaan dengan elemen lain birokrasi yang bertugas menyusun ?perencanaan? tata ruang perkotaan yang lebih detil bersama pihak Konsultan profesional.
Dalam situasi semacam itu, salah satu kata kunci utama penataan ruang kota, baik dalam perspektif perencanaan maupun implementasinya, adalah meletakkan ?partisipasi? dan ?kepentingan? masyarakat dalam arus utama.
?Key word? lain yang juga sangat penting, adanya kesadaran fundamental para perancang dan pengelola tata ruang bahwa seluruh masyarakat memiliki posisi sebagai salah satu ?stakeholder? (pemangku kepentingan) bersamaan dengan pihak pemerintah. Secara moral semangat itu telah diadaptasi secara legal oleh peraturan perundang-undangan tentang penataan ruang. Baik dalam UU no. 24/1992 maupun UU No.26/2007 tentang penataan ruang, posisi masyarakat telah dieksplisitkan.
Pada Penjelasan pasal 12 UU No. 24/1992 ditegaskan bahwa peran serta masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam penataan ruang karena pada akhirnya hasil penataan ruang adalah untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta untuk tercapainya tujuan penataan ruang.
Sedangkan dalam PP No.68/2010 ditegaskan bahwa tujuan pengaturan bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang adalah antara lain untuk menjamin terlaksananya hak dan kewajiban masyarakat, mendorong peran masyarakat dan mewujudkan pelaksanaan penataan ruang yg transparan, effektif, akuntabel, dan berkualitas. Inklusif didalamnya peran tersebut juga diberikan kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan ditambah ketentuan-ketentuan lain yg merupakan Peraturan Pelaksananya, maka penataan/pengaturan tata ruang, khususnya dalam skope yang lebih detil (RDTR), harus menghargai bahwasanya ciri khas kondisi ruang masing-masing kota memang berbeda, sesuai dengan karakter masyarakat serta kondisi alamnya.
Penyederhanaan pemikiran yang meyakini bahwa penataan ruang sebuah kota bisa ?diseragamkan? dengan kota-kota yang lain, bisa bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang sesungguhnya.
Kota Dalam Ekosistem Teknologi Komunikasi-Informasi
SEJARAH pertumbuhan masyarakat dunia diwarnai oleh geliat di Inggris Raya. Lahirnya Revolusi Industri pertama di abad 18, ditandai dengan berbagai penemuan penting, seperti antara lain penemuan era tekstil, alat tenun mekanis yang didukung saluran transmisi listrik, inovasi mesin yang membuat proses pemisahan biji kapas dari serat kapas menjadi semakin mudah dan penemuan mesin uap.
Perkembangan industri dunia dari Revolusi Industri pertama, kedua, ketiga, sampai keempat saat ini ditandai temuan teknologi yang semakin memberikan harapan dan impian bagi masyarakat dunia.
Revolusi Industri ketiga, oleh banyak pengamat sudah diakui sebagai revolusi digital. Sejak 1950-an Revolusi Industri ketiga membawa semikonduktor, komputasi mainframe, komputasi personal dan internet menuju revolusi digital. Sedangkan Revolusi Industri Keempat didominasi oleh lahirnya terobosan teknologi di sejumlah bidang, seperti robotika, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence-AI), nanoteknologi, bioteknologi, komputasi kuantum, Internet of Things (IoT), pencetakan 3D, kendaraan otonom.
Yang menjadi perbedaan di era Revolusi Indusri Keempat adalah terletak pada kemajuan dalam ?komunikasi dan keterhubungan?. Teknologi dikembangkan manfaat dan perannya dengan menghubungkan bermilyar-milyar orang di dunia dalam jejaring dunia maya, dalam waktu cepat, singkat dan murah.
Era ekonomi digital saat ini, berpotensi merubah efektivitas dan urgensi penataan ruang perkotaan. Misalnya, meski jaringan jalan perkotaan, maupun jembatan yang merupakan elemen ?linkage? (penghubung antar kawasan kota), dan jalan raya menuju kota dan wilayah luar kota tetap menjadi kebutuhan, tetapi secara fungsional perannya berkurang karena masyarakat sudah bisa berkomunikasi effektif, cepat serta tepat melalui ?virtual communication?. Tidak harus bertatap muka secara fisik. Pertemuan-pertemuan bisa dilakukan dengan ?Zoom meeting?.
Begitu juga dengan sarana angkutan dan perhubungan lainnya juga berkurang pemanfaatannya. Sarana dan prasarana pendidikan, pemasaran, kesehatan dan bisnis masyarakat secara effektif dan efisien bisa dilakukan dengan komunikasi virtual yang didukung jaringan internet.
Nilai positif yang sangat menguntungkan masyarakat di era digital saat ini, ibaratnya segala sesuatu yang ingin diketahui informasinya, termasuk data, bisa diperoleh dengan ?Internet of Things (IoT)? secara cepat dan murah.
Kota kini menghadapi minimal dua tantangan. Dengan IoT, predikat dan fungsi kota harus meningkat lagi menjadi ?Kota Pintar? (Smart City). Didalamnya meliputi antara lain ?smart home?; ?smart goverment?; ?smart agriculture?; ?smart education?; ?smart retail?; ?smart health?; ?smart energy?; ?smart mobility?. Infrastruktur perkotaan mutlak perlu menyesuaikan dg perkembangan warga yang diberi predikat serba ?Smart?.
Disisi lain, dengan memanfaatkan IoT yang disertai infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi ditambah effektivitas virtualnya, masyarakat memiliki pilihan untuk tetap melaksanakan tugas dan fungsi-fungsi profesionalitasnya dari luar kota. Fenomena ini perlu dikaji, sebagai pemanfaatan lebih lanjut asas efisiensi tapi effektif oleh anggota masyarakat. Karena dengan IoT komunikasi interpersonal menurun. Jika fenomena ini menjadi realitas yang konsisten kedepan, bukan mustahil Urbanisasi menghadapi kendala atau restriksi/hambatan. Bukan mustahil pula jumlah penduduk di desa meningkat kembali. Perubahan dalam berbagai perspektif (sudut pandang) atas penataan kota baru juga diperlukan.
Kajian prediktif berlandaskan kepentingan multidimensional, terhadap peran serta fungsi kota kedepan dalam konteks ekosistem teknologi komunikasi-informasi semakin menarik untuk dilakukan !!!
*) DR. Kristiya Kartika, Pemerhati Masalah Perkotaan dan Reformasi Birokrasi, Tim Kerja Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Menyelesaikan pendidikan terakhirnya pada Program Doktor dari Faculty of Graduate School of Business Management, San Beda University, Manila (2009).
Terpilih menjadi Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo), serta Vice President, Technical Consultancy Development Program for Asia and the Pacific (TCDPAP).
(Tim)