Gedung MPR, DPR, dan DPD. ( Foto: Antara )
EDITOR.ID, Jakarta,- Partai baru seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Perindo berpeluang menembus parlemen (parliamentary threshold/PT) sebesar 4 persen pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 jika mampu meyakinkan masyarakat.
Sementara aturan 4 Persen jumlah ambang batas suara yang harus diraih partai politik untuk bisa memiliki kursi di parlemen akan menjadi senjata mematikan bagi partai politik.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini memprediksi, PT 2019 sebesar 4 persen akan membuat perhelatan Pemilu 2019 semakin sengit. Sebab, dengan jumlah ambang batas yang naik hingga 4 persen, ada partai politik baru yang memungkinkan merebut suara pemilih partai lama.
“Suara masyarakat akan terdistribusi kepada 16 partai yang lolos verifikasi. Jadi, partai di parlemen bisa saja tidak terpilih lagi,” kata Titi di Jakarta, Kamis (30/8).
Dijelaskan, PT 4 persen membuat satu parpol harus mengumpulkan sebanyak 5 juta suara untuk masuk ke parlemen. Jumlah itu cukup besar dan akan membuat partai baru bekerja keras memenuhi kuota tersebut.
Aturan tersebut justru akan membuat partai politik (parpol), termasuk partai lama yang sudah memiliki kursi di parlemen, akan berguguran. Ibaratnya, aturan PT 4 persen menjadi senjata bagi partai untuk bunuh diri.
Menurut dia, partai baru yang lolos pada Pemilu 2019, antara lain Partai Berkarya, Partai Garuda, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Titi juga memprediksi, ambang batas yang tinggi dan jumlah parpol yang bertambah akan membuat banyak suara masyarakat dalam Pemilu 2019 menjadi terbuang.
“Masyarakat sudah memilih, tetapi parpolnya tidak lulus ambang batas parlemen. Maka, suara masyarakat menjadi terbuang dan tidak terhitung,” imbuhnya.
Sementara, pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan, ambang batas parlemen dan presiden belum tepat diterapkan untuk Pemilu 2019.
Menurut dia, sulit menerapkan aturan ambang batas pada Pemilu 2019. Sebab, pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres akan dilakukan secara serentak.
Oleh karena itu, penetapan angka sebagai ambang batas menjadi tidak relevan. Kecuali, Pemilu dilangsungkan tidak secara serentak.
Dia juga menambahkan, Pemilu 2019 sebaiknya belum menerapkan ambang batas, baik pada pileg maupun pilpres. “PT itu ditiadakan saja lebih baik. Begitu juga presidential threshold,” sarannya.
Sedangkan, pengamat dari Universitas Indonesia Rahmat Bastian berpandangan, secara konstitusi, ambang batas parlemen mengebiri aspirasi rakyat.
Sebab, kebijakan itu jelas memperkecil nilai dan kualitas hak memilih satu pemilih. Hitungannya, 100 persen suara pemilih menjadi tidak bulat dan hanya tersisa sekitar 0,4 persen.
“Jadi, kalau menurut pendapat saya, akibatnya akan ada sekitar 3,99 persen dikali jumlah parpol yang kalah dikali suara rakyat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) resmi, yang hak pilihnya teranulir,” kata dia. Sebagai orang yang memiliki hak pilih, dia berharap masyarakat lain juga kritis terhadap persoalan ini.
“Bayangkan jika setiap satu rakyat memutuskan untuk memperjuangkan hak memilihnya melalui jalur yudikatif. Khususnya hak memilih yang telah teranulir sendiri. Itu bagaimana?” ujarnya.
Seperti diketahui, sesuai UU, PT telah ditetapkan sebesar 4 persen. Artinya, hanya partai yang mendapatkan suara sebanyak 4% dari jumlah suara sah, yang memperoleh kursi di DPR. Semula, aturan itu dibuat untuk membatasi jumlah partai yang memperoleh kursi di parlemen. (tim)