Pola hubungan terakhir di atas, sangat bergantung pada kemauan baik dan kebijaksanaan seorang penguasa-pengusaha atau pengusaha-penguasa dalam menata sumberdaya bagi rakyat. Konglomrasi politik ekonomi itu menempatkan porsi rakyat kecil dan sekadar memperoleh trickle down effect atau dampak tetes dari kemakmuran ekonomi daerah dan negara. Reagonomics ini menuntut keberpihakan kebijakan pada rakyat, demi ekonomi berkeadilan. Penguasa-pengusaha atau pengusaha-penguasa harus berprilaku crazy rich yang philanthropist ala Bill Gates, Warren Buffet, Azim Pramuji, Charles Francies Feeney, dan Mark Zuckerberg.
Oleh karena itu, edukasi politik sangat penting dalam membangun mentalitas philanthropist dalam kekuasaan. Hal itu merupakan kerja-kerja edukasi yang notabene kerja-kerja kebudayaan dan peradaban. Apa yang tumbuh subur dan hidup di tengah-tengah masyarakat, sumber mata air dari local wisdom (kearifan lokal). Disitulah, kita anak bangsa menimbah pembelajaran. Ternyata demokrasi Indonesia lebih hebat dari pada AS sekalipun. Sistem pemilihan langsung bukan, sekali lagi bukan, mengadopsi sistem pilpres AS, tapi lebih merupakan formulasi sistemik pilkades. Dimana, pengangkatan kepala desa di seluruh Tanah Air pada zaman kolonial, sudah mengunakan mekanisme pilihan langsung rakyat. Sebuah sistem yang dibangun di atas prinsip dari oleh dan untuk rakyat.
Bahwa dalam Pilkades, Pilkada dan Pilpres terdapat kelemahan dan kekurangan, siapa pun tak bisa memungkiri. Jujur harus diakui, kita tanpa terkecuali, berkewajiban untuk memperbaiki prilaku pemilih yang kian pragmatis. Sehingga belakangan ini, official election (jabatan yang dipilih), bergeser dari aktivis pada pembisnis, terjadi lantatan trend pragmatisme politik. Akan tetapi, trend ini bukan berarti menyimpang. Namun hal itu lumrah dan kaprah di negara demokrasi besar.
Barrington Moore menyatakan demokrasi akan tumbuh dan berkembang, bila kaum borjuis kuat dan aktif dalam proses demokratisasi. Ada ungkapan, No bourgeoisie no democracy (tanpa borjuasi, tak ada demokrasi). Borjuasi politik bukan berarti menghilangkan spirit proletarianisme dalam praktek demokrasi. Rakyat tetap pemegang kedaulatan tertinggi. Dalam banyak kasus, pemenang pilihan langsung tak otomatis yang paling banyak dana kampanye atau sokongan pemodal terhadap calon. Semua bergantung pada trend model kepemimpinan yang disukai rakyat.
Tiap zaman ada pemimpinnya, dan setiap pemimpin ada zamannya, kata Aburizal Bakrie, mantan ketua umum Partai Golkar dan bos usaha Bakrie Group. Uniknya, selera kepemimpinan rakyat dinamis. Persis dengan selera food, mode and style of life (makan, pakaian dan gaya hidup) warga bangsa yang sangat dinamis, bersama dengan pertumbuhan dan perkembangan cita rasa budaya bangsa. Budaya “nge-pop” dan massal silih berganti mengikuti selera pasar.