Politik uang adalah pasar gelap demokrasi yang menjerumuskan calon pada politik biaya tinggi dan politik oligarkhis.
Keterlibatan kepala daerah dalam tindak pidana korupsi, dalam analisis Kemendagri dan KPK berhubungan dengan demokrasi berbiaya mahal.
Mahfudz MD, Menkopolhukam menyatakan bahwa 92 persen pilkada langsung dibiayai oleh cukong. Senada dengan itu, Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK, menyebutkan 82 persen pilkada langsung dibiayai oleh sponsor. Cukong atau sponsor tersebut sudah tentu membiayai calon pasti berimbal-balik.
“Tidak ada makan siang gratis”, semua pasti berkonsesi. Calon yang terpilih dan menjadi kepala daerah biasanya mengganti biaya politik dengan kebijakan yang menguntungkan. Pemberian lisensi penguasaan hutan, pemanfaatan tambang, dan lain sebagainya, lazimnya terkait dengan tradisi ijon dalam pembiayaan kampanye yang semakin mahal.
Calon sendiri kebanyakan tak bisa mengcover pembiayaan kampanye, mulai dari sosialisasi, biaya kontrak survey dan konsultan, rekomendasi partai, alat peraga kampanye, iklan kampanye, biaya saksi sampai operasional tim pemenangan.
Tito Karnavian (Mendagri) menyebut, minimal 25-30 miliar yang harus dikeluarkan untuk maju di pilkada. Bahkan, ada yang sampai ratusan miliar untuk calon bupati dan triliunan untuk calon gubernur. Ongkos politik yang demikian mahal ini, yang menyeret kepala daerah pada pusaran kasus korupsi.
Berdasarkan testimoni, kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi untuk mengcover modal dan membiaya kembali pencalonannya. Kemendagri mencatat, sejak Pilkada langsung 2005 sampai sekarang, ada 300 lebih kepala daerah berurusan dengan KPK dan penegak hukum lainnya.
Center for Responsive Politics (CRP) melaporkan bahwa biaya politik pilpres dan kongres AS 2020 diperkirakan menghabiskan dana $11 miliar dolar atau Rp 164 triliuan. Biaya politik ini 50 persen lebih besar dari pada biaya politik Pilpres dan kongres AS 2016 lalu. Biaya politik di AS diperoleh dari penggalangan dana kampanye, baik dari perseorangan maupun perusahaan. Dan AS juga mengenal pembatasan jumlah sumbangan dana kampanye.
Brain McFeeters, Duta Besar AS untuk Indonesia memaparkan, sumbangan dana kampanye bagi perseorangan $2.700 atau Rp 35 juta kepada capres, dan di atas itu harus melalui Komite Aktivitas Politik (PAC) maksimal $5.000 atau Rp 65 juta. Capres dilarang menerima dana kampanye dari pihak asing mana pun dan bila ada temuan menerimanya, maka capres tersebut akan mendapatkan sanksi berat.
Berdasarkan Pasal 74 ayat (5) UU No 10/2016 tentang Pilkada, jumlah sumbangan dana kampanye bagi perseorangan maksimal Rp 75 juta, dan bagi perusahaan maksimal Rp 750 juta. Ternyata, dari segi regulasi, batasan sumbangan dana kampaye di Pilkada Indonesia lebih besar dari pada Pilpres AS. Cuma, partisipasi rakyat untuk menyokong dana kampanye di Indonesia jauh lebih kecil dari pada AS.