Oleh : Edi Winarto
Penulis : Jurnalis
Orkestra politik yang dimainkan Partai Demokrat seolah di “kudeta” dan menuding ada orang lingkaran istana Kepresidenan berada dibalik upaya merebut kepemimpinan partai, memang memberikan efek kejut atau rasa kaget bagi publik.
Namun lambat laun, isu ini gaungnya kurang meraih efek dukungan publik. Kecuali maraknya pernyataan kesetiaan pengurus Partai Demokrat di sejumlah daerah di level internal partai.
Kenapa demikian? karena suara publik sebagian besar masih percaya pada integritas Presiden Joko Widodo dalam soal politik. Jika pun ada manuver orang di lingkaran istana, penulis yakin sekali bahwa Jokowi tidak punya kepentingan apapun untuk mengobok-obok Partai Demokrat. Sehingga mengkaitkan kudeta Demokrat dengan Jokowi ibarat menyatukan ujung timur dengan ujung barat.
Usaha membawa isu kudeta menjadi isu nasional dan diharapkan akan menarik efek dan elektabilitas bagi sang Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono dan partainya belum bisa menggelinding seperti bola salju yang bisa menggerakkan empati publik atau masyarakat untuk kemudian simpatik dengan partai ini.
Lantas muncul pertanyaan kenapa “Kudeta” di tubuh Demokrat gaungnya kurang direspon publik. Kenapa isunya tidak ditangkap publik yang diharapkan akan memberikan efek positif bagi partai politik ini dalam upaya menabung elektabilitas menuju Pemilu 2024.
Ada beberapa faktor pandangan subyektif penulis untuk menjelaskan dan menganalisa fenomena ini.
Pertama, magnitude bagi kepentingan publik nyaris tidak ada korelasinya. Badai yang disemburkan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono hanya menggegerkan internal partai atau pengurus namun publik menganggap angin lalu. Karena isu yang sengaja diumumkan ke publik tidak ada keterkaitan langsung dengan irisan persamaan nasib yang sedang dihadapi publik.
Kedua, konflik yang dikelola untuk menjadikan isu ini seksi bagi media lebih cenderung mengeksplore kepentingan intern partai. Bukan memperjuangkan dan membela kepentingan publik sehingga bagi publik hal tersebut tidak ada manfaatnya.
Ketiga, sosok AHY sebagai key personal dalam Partai Demokrat selama ini dikenal publik adalah sosok anak muda atau “anak manis” (sangat patuh dan taat) yang dibesarkan dalam keluarga “ningrat” putra dari Presiden. Dalam lingkungan kehidupan zona nyaman.
Sehingga belum bisa menjadi ikon tokoh oposisi pembawa perubahan. AHY juga belum bisa disebut sebagai tokoh pejuang atau tokoh pembela rakyat yang peduli masyarakat kecil.
Keempat, isu yang dicuatkan ke publik oleh Ketua Umum Partai Demokrat adalah isu internal partai. Partai Demokrat kurang mampu membangun frame dan memaparkan bentuk nyata kedzoliman politik seperti apa yang mereka alami secara nyata.
Pasalnya, sampai saat ini AHY tetap bertengger sebagai Ketua Umum dan posisinya terus kuat. Tidak ada tanda-tanda atau suara akan adanya Kongres Luar Biasa (KLB), tidak ada sinyalemen gerakan-gerakan dari daerah “melawan” pusat atau Ketua Umum.
Sehingga publik kemudian menyimpulkan apanya dari AHY yang merasa dirugikan?… Kemudian harus teriak-teriak dan phobia, panik kalau-kalau kursi Ketua Umumnya akan dicongkel.
Menurut hemat penulis, isu ketakutan jabatan ketua umum akan direbut orang lain sementara waktu jangan terlalu dijadikan hal yang besar dan akan membuat kiamat politik. Karena jabatan itu amanah dari Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa. Kapan pun dia akan ambil, maka jabatan itu akan tercabut.
Menurut hemat penulis sebaiknya dengan amanah jabatan sebagai Ketua umum Partai Politik yang harus dilakukan AHY adalah mengantarkan partai lebih dekat dengan rakyat sebagai pemilik suara. Jangan lagi ada kesan elite partai Demokrat kurang dekat dengan masyarakat bawah. Dan hanya bermain “diatas” di kalangan elite politik.
Saran penulis untuk mendapatkan efek positif dari marketing politik Partai Demokrat adalah bagaimana memoles sang Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono agar bisa menjadi sosok pendamping dan pengawal rakyat kecil yang terdzolimi.
Namun dalam keadaan lingkungan dan kehidupan yang sudah mapan dalam zona nyaman tentu bukan pekerjaan yang mudah untuk membangun gestur dan karakter AHY sebagai tokoh pembela rakyat.
Sehingga memainkan isu kudeta dalam membangun efek positif bagi Partai Demokrat menurut penulis sebagai manuver kontra produktif. Kenapa demikian? Karena akan memunculkan polemik negatif dan bukan membangun citra dan image positif bagi partai.
Apalagi isu kudeta ini dilempar disaat masyarakat Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19 dan musibah bencana alam. Maka “nyanyian” dan curhatan Partai Demokrat ke publik atas tudingannya ada kudeta di partainya oleh lingkaran istana justru semakin tenggelam tertutupi isu bencana alam dan Covid.
Kenapa tenggelam? Karena saat ini rakyat Indonesia sedang bahu membahu melawan ganasnya virus Corona dan musibah bencana alam disana sini.
Andai saja isu atau marketing politik diarahkan pada aksi nyata Partai Demokrat membela rakyat dalam menghadapi Pandemi Covid. Dan juga aksi nyata menyapa rakyat dan memberikan bantuan bagi korban bencana tentunya gaung kehadiran Partai Demokrat ditengah-tengah masyarakat akan mendapatkan respon positif. ***