Apakah kasus diatas bisa dinilai sebagai kasus intoleransi antar golongan agama layaknya antara umat Islam dan umat katolik dalam konteks memerankan status mayoritasnya hingga menekan kelompok minoritas agar tidak boleh beribadah semaunya, seperti layaknya umat Islam yang bisa secara bebas dalam melakukan aktifitas tersebut sekalipun dirumahnya masing-masing.
Pada hal, kebutuhan tentang hal itu menjadi sangat penting mengingat adanya serangkaian aktifitas ibadah bagi para umat Kristiani yang merupakan tradisi doa bersama sekaligus melakukan silaturahmi keliling yang mereka lakukan secara bergiliran sebagaimana tradisi ukhuwah Islamiyyahnya guna menjaga persaudaraan seiman, termasuk acara penghiburan bagi keluarga mereka yang telah meninggal dunia layaknya Tahlilan bagi umat islam pada umumnya.
Pembubaran paksa sebagaimana kasus diatas justru menjadi aneh manakala aparatur desa seperti Ketua RT justru terlibat sebagai pelaku kasus Intoleransi tersebut.
Sekalipun publik harus bisa menahan diri agar pada kasus ini tidak serta merta menilainya sebagai kasus intoleransi antara umat beragama sebagaimana penulis sebutkan diatas, melainkan kasus antara aparatur desa yang semestinya dibawah kendali pemerintah Kota Tangerang Selatan.
Tentu saja hal ini dipandang sebagai lemahnya pengetahuan dan wawasan dalam menjaga sosial kemasyarakatan, khususnya yang terkait dengan penerapan sikap toleransi beragama ditengah pengendalian lingkungan sekitarnya.
Dalam kapasitasnya selaku pengguna anggaran, tentu mudah saja bagi pemerintah Kota Tangerang selatan untuk membekali aparaturnya guna menjalankan instruksi dan pedoman kerja dibawah payung UU yang harus melandasi sikap dan pola kerja bagi seluruh jajaran aparatur terkecilnya sekalipun.
Bahwa, setiap RT dan RW harus di upgrade melalui Test Wawasan Kebangsaan, sekaligus mematuhi dan menerapkan aturan sesuai dengan perintah dan larangan dari apa yang semestinya berlaku hingga mereka memahami jenjang dan hirarki ketentuan tersebut.
Tentu saja masyarakat Tangsel bisa berharap dari Legislatif yang telah dimenangkannya untuk menagih janji mereka agar usulan ini secara nyata bisa diterapkan.
Persoalan kriminalisasi yang berbungkus agama sama sulitnya dengan melihat persoalan kriminal yang mengatasnamakan ketidakadilan atas kebijakan pemerintah. Sehingga mengakibatkan tindakan dan perlakuan anarkis seolah-olah diluar kendali hingga menjadi persoalan pihak-pihak yang terkait pada hal-hal lainnya.
Persoalan kriminal bisa datang dari berbagai sisi, hal itu bisa saja datangnya dari kriminal politik dalam artian melindungi kepentingan politik, dan ada juga bersifat kriminal sosial dalam artian melindungi kepentingan atas eksistensi kelompok tertentu, serta bentuk kriminalisasi lainnya, seperti ekonomi dalam konteks melindungi dominasi atas penguasaan pasar dan parkiran atau yang lebih tinggi dari tingkatan itu semua.