Apakah problematika etik dapat berimplikasi terhadap eliminasi pencalonan Capres atau Cawapres dalam kacamata ketatanegaraan? Sejauh mana implikasi yang ditimbulkan?
Sulis menjelaskan, “prinsip negara hukum yang diterapkan di Indonesia kini terganggu. Sebab, pilar-pilar yang membangunnya sudah runtuh,” jelasnya.
Sulis berkesimpulan, kalau begitu artinya kita sudah tidak lagi menjadi negara hukum, kita menjadi negara kekuasaan.
Sulis melanjutkan, “Karena pilar-pilar di dalam negara hukum itu sudah dicoba untuk diruntuhkan dan nampaknya berhasil,” lanjut Sulis.
Secara gamblang Sulis mengungkap siapa yang meruntuhkan pilar pertama kalinya, yakni soal prosedural formal pembentukan hukum, yang menurutnya di Pemerintahan Joko Widodo lah yang kerap mengabaikannya.
“Kalau bikin hukum itu enggak bisa sembarangan, mesti ada proses-proses demokrasi dan lain-lain, ya dalam langkah-langkah yang ada teori-teorinya. Itu dilampaui semua,” ucap Sulis dengan gamblang.
Sedangkan pilar keduanya adalah dalam hal substansi, harus dipastikan bahwa hak-hak dasar warga negara, bahkan hak asasi manusianya harus dijamin dalam Undang-Undang (UU).
“Dalam hal ini kita kehilangan hak kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat,” tuturnya.
Dan “Pilar ketiga, ada mekanisme kontrol, dimana ada independensi pengadilan untuk memastikan mana yang boleh dan tidak boleh, mana yang pantas dan tidak pantas. Itu semuanya sudah tidak ada,” bebernya.
Sulis berharap agar masyarakat turut berperan aktif memantau jalannya keberlangsungan Pilpres pada Pemilu 2024.
“Karena kita tak bisa mengharapkan lagi negara yang harusnya memastikan itu semua, kita tidak mendapatkan (kepastian hukum dan pemilu tanpa kecurangan). Maka kita harus sendiri mengupayakannya,” tambah Sulis.
“Sejarah mengatakan, Indonesia selalu berhasil melampaui masa-masa sulit, masa-masa gelap oleh karena perjuangan masyarakat sipil. Jadi kita harus memulai dari hari ini,” tandasnya.***