“Jadi begini salah satu sektor pajak yang jadi primadona adalah pajak air permukaan. Pajak air permukaan ini menjadi kewenangan provinsi sedangkan pajak air tanah itu kewenangan kabupaten dan kota. Tapi disayangkan, selama ini pajak air permukaan belum maksimal. Kenapa? Ya itu banyak faktornya,” kata Husin.
Lebih lanjut ia mengatakan modus yang digunakan yakni modus sengaja tidak mengupdate izin ditambah lagi dengan perusahaan sama sekali tak memiliki izin tetapi tetap menggunakan atau memanfaatkan air, dan mereka ini didominasi perusahaan air minum nasional hingga multinasional.
Termasuk, kata dia, usaha perorangan, banyak juga pabrik, perkantoran sampai perusahaan non perusahaan air minum yang memodifikasi usahanya jadi perusahaan air minum.
“Salah satunya di Garut. Dari 13 perusahaan yang memanfaatkan air permukaan, hanya 3 yang berizin. Sisanya 10 tidak berizin tetapi tetap melakukan operasi dan mereka tidak membayar pajak. Jadi 10 perusahaan tersebut perusahaan daerah dan swasta besar,” katanya.
Baca juga:Â Freeport diminta bayar pajak air permukaan Rp5,6 triliun
Selain itu, Husin juga mengungkapkan bahwa ada juga perusahaan yang berdalih karena tidak menggunakan air permukaan secara maksimal, akhirnya perusahaan tersebut tidak membayar pajak padahal perusahaan ini sudah lama memanfaatkan atau mengolah air.
“Dan berbagai alasan lainnya, banyak perusahaan yang tak mau membayar pajak air permukaan. Dalam hitungan dan temuan kami dari Komisi III DPRD Jawa Barat ada potensi besar untuk PAD dari pajak air permukaan ini yang hilang karena modus-modus tersebut,” ungkapnya.
Husin memyebut, praktik tersebut mengakibatkan PAD Jawa Barat dari pajak air permukaan hanya Rp50 miliar per tahun padahal potensi penerimaan dari pajak air permukaan ini bisa mencapai Rp320 hingga Rp500 miliar pertahun.
(Advertorial Humas DPRD Jabar)