Aurat wanita, di luar salat, tergantung adat yang menoleransi batas kerawanan. Kerawanan aurat wanita, menurut ukuran orang Arab, bisa jadi beda dengan orang Jawa.
Ada juga yang menafsirkan ‘yang perlu tampak.’ Artinya, sejauh dibutuhkan, misalnya untuk pekerjaan, wanita boleh menampakkan sebagian anggota badannya. Ada juga yang menafsirkan ‘yang terpaksa tampak.’ Ini pendapat yang paling ketat.
Prinsipnya, semua tubuh wanita adalah aurat. Dalam keadaan darurat, wanita baru boleh menampakkan sebagian anggota badannya.
Aurat wanita harus ditutup. Al-Qur’an menggunakan beberapa jenis penutup: hijâb (QS. Al-Ahzab/33: 53), jilbâb/jalâbib QS. Al-Ahzab/33: 59), dan khimar/khumur (Qs. An-Nur/24: 31).
Tidak ada istilah niqâb (cadar) dalam al-Qur’an.
Istilah niqab muncul di dalam hadits, justru dalam bentuk larangan bagi wanita yang ihram:
لا تنتقب المراة المØرمة ولا تلبس القÙازين » (رواه اØمد وبخاري)
“Tidak (dibenarkan) wanita yang ihram untuk mengenakan cadar dan kaus tangan.â€
Ekstremisme lahir sebagian dari skripturalisme, yaitu cara baca teks yang kaku dan harfiah.
Nabi pernah memerintahkan sahabat memangkas kumis dan memanjangkan jenggot.
قصوا الشوارب وأعÙوا اللØÙ‰ خالÙوا المشركين » (متÙÙ‚ عليه)
“Potonglah kumis, panjangkan jenggot, selisihilah orang-orang musyrik.â€
Illat dari perintah ini adalah menarik perbedaan dari orang-orang Persia yang musyrik. Alih-alih mengakui bahwa tujuan dari perintah ini bersifat temporer, kelompok skripturalis menganggap ketetapan ini bersifat abadi, universal, berlaku sepanjang tempat dan masa.
Begitupun dalam memahami larangan menjulurkan celana di bawah mata kaki.
ما أسÙÙ„ من الكعبين من الإزار ÙÙÙŠ النار (رواه البخاري)
“Apa yang menjulur di bawah mata kaki adalah di neraka.â€
Teks ini dipahami secara harfiah tanpa menimbang illat hukumnya. Padahal, sebagaimana hadits tentang jenggot, Nabi juga menyelisihi tradisi busana orang-orang musyrik bangsa Romawi yang menjulurkan bajunya sebagai tanda kebesaran, kemewahan, dan kepongahan.
Illatnya adalah pongah.
Ini diperjelas dalam hadits lain.
لا ينظر الله إلى من جر ثوبه خيلاء » (متÙÙ‚ عليه)
“Allah tidak memandang orang yang menjulurkan bajunya dengan cara congkak.â€
Dalam cara baca yang tidak harfiah, berlaku kaidah:
الØكم يدور مع علته وجودا وعدما
“Hukum itu berubah sesuai dengan ada atau tidak adanya illat.â€
Jika ‘illat-nya hilang, hilang pula ketetapan hukumnya. Orang Jawa menjulurkan celana di bawah atau tepat di mata kaki bukan karena pongah, tetapi karena kebiasaan.