Delegasi Indonesia ke Mesir waktu itu dipimpin oleh Haji Agus Salim sebagai ketua, anggota delegasi Sutan Sjahrir, A.R. Baswedan, Nazir Sutan Pamuncak, H.M. Rasjidi, dan R.H. Abdul Kadir. “Pengakuan Mesir telah menghancurkan harapan Belanda untuk dapat kembali menguasai Indonesia,” kata Prof. Dr. H.M. Rasjidi (Menteri Agama Pertama RI) dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984).
Peran Haji Agus Salim juga tercatat dalam perjanjian Persahabatan dengan Suriah (2 Juli 1947), Perjanjian Persahabatan dengan Saudi Arabia (21 November 1947), dan perundingan di atas geladak kapal Renville pada 8 Desember 1947. Ia ikut delegasi Indonesia ke Lake Success Amerika Serikat tahun 1947. Ia merupakan perintis hubungan diplomatik Indonesia dengan beberapa negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Mesir, Siria, dan Libanon.
Agus Salim menjadi anggota delegasi Indonesia ke Inter Asian Relations Conference di New Delhi, India. Pada 3 Juni 1953 ia mewakili Pemerintah RI bersama Sri Paku Alam VIII menghadiri Penobatan Ratu Elizabenth II di London, Inggris. Haji Agus Salim dan Mohammad Hatta hadir dalam Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Negeri Belanda pada 23 Agustus 1949, dimana salah satu hasil KMB pemerintah Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada 30 Desember 1949.
Kunjungan Haji Agus Salim ke negara-negara Arab dalam rangka menggalang pengakuan de jure atas kemerdekaan Republik Indonesia membawa hasil yang menggembirakan. Selain itu, bersama Sutan Sjahrir, ia hadir mewakili Indonesia di forum Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 12 Agustus 1947.
Jasa Haji Agus Salim untuk Republik Indonesia tak terhitung semenjak sebelum kemerdekaan Indonesia maupun sesudahnya. Karena itu tidak berlebihan, sejarawan dan jurnalis Solichin Salam dalam buku Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional (1965) menyebut Haji Agus Salim bukan hanya diplomat ulung, melainkan juga diplomat Indonesia yang pertama. Dia yang merintis jalan bagi Indonesia dalam hubungan maupun kegiatan-kegiatan dengan dunia internasional.
Sejarah mencatat Haji Agus Salim adalah seorang ulama intelek yang berpikir progresif dalam mengartikulasikan esensi ajaran Islam yang membawa spirit kemajuan berpikir dan bergerak bagi umatnya. Di depan Kongres Jong Islamieten Bond (JIB) tahun 1927 ia mengkritisi tabir pemisah antara laki-laki dan perempuan di dalam rapat umum.
Kebiasaan demikian menurutnya adalah kebiasaan bangsa Arab, bukan berasal dari perintah Islam. Bahkan mungkin juga berasal dari kepercayaan agama lain yang memandang posisi wanita lebih rendah daripada laki-laki. Agus Salim memandang, “Islam memelopori emansipasi wanita. Sesuai surat An-Nur ayat 30 tidak ada keharusan orang perempuan dipisahkan, apalagi menutup muka.”