EDITOR.ID – Jember, Banyak orang tergelitik dengan postingan foto Anies Rasyid Baswedan baca buku How Democracies Dei karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Sindiran itu juga warning Indonesia yang sedang menjalankan Pilkada Serentak 2020. Bagaimana pemilu demokratis sekalipun bisa melahirkan pemimpin otoriter.
Pengalaman Italia, Jerman, Venezuela punya pemimpin Bineto Mussolini, Adolf Hitler, Hugo Savez, yang terkenal di dunia sebagai pemimpin otoriter dan fasis, lahir dari rahim pemilu yang demokratis. Mereka para demagog yang lihai dan cerdik beretorika dengan kata provokatif dan menyentuh emosi massa, sehingga banjir simpati dan dukungan warga pemilih. Namun, di balik retorika politik yang menggelegar tersebut, menyimpan paham kekuasaan otoritarianisme yang menghalalkan segala cara. Termasuk penggunaan kekerasan dalam mengelola kekuasaan rakyat.
Para pemimpin fasis tersebut, pernah terlibat kudeta terhadap pemerintahan yang sah, dengan dalih penyelamatan atas multikrisis, baik kepemimpinan, ekonomi, sosial, maupun ketertiban dan keamanan. Namun, berkat kemampuan propaganda yang bagus, rakyat akhirnya percaya. Narasinya dianggap solusi atas berbagai problema bangsa. Mereka pun terpilih menjadi Perdana Menteri atau presiden. Saat di tampuk kekuasaan nomor satu di negaranya masing-masing, ternyata rakyat salah pilih. Italia dan Jerman menjadi negara ageresor pada negara lain, yang menyulut perang dunia ke-1 dan ke-2. Sementara, Venezuela sering terlibat “perang urat saraf” dan banyak diboikot negara lain, serta terkucil dari pergaulan dunia.
Dalam skala lokal, bagaimana demokrasi mati, juga terlihat fenomenanya di Jember. Partai politik yang memberikan “karpet merah” bagi orang luar partai, lantaran partai politik mengalami krisis kader. dr Hj Faida MMR yang diusung oleh Partai NasDem, PDIP, PAN dan Hanura pada Pilkada 2015, dalam melaksanakan pemerintahannya “berperang” terus dengan parlemen tanpa henti. Padahal, perang tersebut telah nyata-nyata berdampak pada manajemen pemerintahan dan keuangan daerah yang buruk. Manajemen ini berentet panjang pada terbengkalainya pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Ironis, bupati perempuan pertama di Jember ini, mengingkari kenyataan buruknya kondisi Jember. Faida merasa Jember baik-baik saja, sekalipun sanksi administratif dan politis sudah diterimanya. Opini disclaimer BPK, 6 bulan tak digaji, pemakzulan oleh DPRD, usul pemberhentian dari Gubernur, dan lain sebagainya, dianggap angin lalu dan tak lebih dari political game Pilbup saja. Faida berhasil memposisikan diri sebagai korban politicking layaknya playing victim (korban pemainan) para politisi partai parlemen. Terutama di hadapan para pendukung fanatiknya.