EDITOR.ID, Jakarta,- Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu prihatin atas mudahnya seseorang mencap orang lain dengan istilah ‘kafir’. Ryamizard menegaskan persatuan harus dijaga meski berbeda agama.
Menhan mengancam akan menempeleng orang yang mudah mengecap orang lain dengan istilah ‘kafir’ atau takfiri. Ryamizard menegaskan persatuan harus dijaga meski berbeda agama.
“Kemudian ribut-ribut masalah agama, kan ini sudah ada wadah juga, Ketuhanan Yang Maha Esa, karena kita bukan negara agama, bukan negara Islam. Kita Negara Kesatuan RI,” ujar Ryamizard dalam sambutan Rapat Koordinasi dan Evaluasi Pelaksanaan Bela Negara di Kemenhan, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (5/3/2019).
Ryamizard menekankan Pancasila sebagai dasar negara yang mengayomi umat beragama. Setiap orang harus saling menghormati.
“Saya selalu baca surat itu lakum diinukum waliyadiin, agamamu, agamamu. Kamu tidak menyembah apa yang saya sembah dan saya tidak menyembah apa yang kamu sembah. Masuk neraka itu urusan Tuhan, enaknya kalau bilang kafir-kafir. Kalau ada yang bilang kafir, saya tempeleng. Pancasila itu persatuan Indonesia yang berperikemanusiaan,” tuturnya.
Karena itu, masyarakat diminta tetap menjaga persatuan dan kesatuan. “Pancasila sama dengan ajaran Islam kok, silaturahmi, dengan silaturahmi itu kebersamaan. Yang tidak melaksanakan silaturahmi, kata Allah, tidak akan diberi rahmat dari Allah,” ujar Ryamizard.
Istilah kafir menjadi salah satu dari lima rekomendasi Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Ponpes Miftahul Huda Al Azhar, Banjar, Jawa Barat, Jumat (1/3/2019).
Istilah ‘kafir’, menurut Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa.
Maka setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata konstitusi. Maka yang ada adalah nonmuslim, bukan kafir.
Said Aqil mengisahkan istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad SAW di Mekah untuk menyebut orang yang menyembah berhala serta tidak memiliki kitab suci dan agama yang benar.
“Tapi, ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, tidak ada istilah ‘kafir’ bagi warga Madinah. Ada tiga suku nonmuslim di Madinah, di sana disebut nonmuslim, tidak disebut kafir,” kata Said Aqil.
Sekretaris LBMNU Jatim yang juga anggota tim perumus, Ahmad Muntaha, mengatakan nonmuslim dalam suatu negara-bangsa tidak dapat masuk dalam kategori kafir. Karena itu, kata dia, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mereka adalah warga negara atau muwathin, yang mempunyai kewajiban dan hak yang sama dan setara sebagaimana lainnya.