EDITOR.ID, Jakarta,- Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang meminta jajarannya agar tidak perlu memproses hukum kasus korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp50 juta menuai pro kontra dari berbagai kalangan. Salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron merespons tegas pernyataan Jaksa Agung. Mantan Dekan FH Unej ini menegaskan korupsi adalah perilaku tercela terlepas dari berapa pun nilai kerugian keuangan negara yang ditimbulkan akibat tindak pidana itu.
?Karena aspek hukum bukan sekadar tentang kerugian negara. Namun, juga aspek penjeraan dan sebagai pernyataan penghinaan terhadap perilaku tercela yang tidak melihat dari berapa pun kerugiannya,? kata Ghufron melalui keterangan resminya di Jakarta, Jumat (28/1/2022).
?Negara kita adalah negara hukum yang pembentuknya adalah DPR dan pemerintah selama hal tersebut tidak diatur dalam UU kita sebagai penegak hukum tidak bisa berkreasi membiarkan korupsi di bawah Rp50 juta.?
Kendati demikian, Ghufron memahami gagasan Jaksa Agung tersebut. Ia mengatakan proses penyelesaian perkara juga memakan biaya yang besar bisa lebih dari Rp50 juta.
?Karena proses hukum harus juga mempertimbangkan cost and benefit,? kata Nurul Ghufron.
?Sementara proses hukum kalau kita perhitungkan biayanya dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai ke pengadilan banding dan kasasi biayanya tentu lebih besar dari Rp50 juta, sehingga saya memahami gagasan tersebut.?
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin meminta jajarannya agar tidak memproses hukum kasus korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp50 juta.
Sebagai gantinya, ST Burhanuddin meminta perkara itu cukup diselesaikan dengan mengembalikan kerugian negara saja.
?Kejaksaan Agung telah memberikan imbauan kepada jajaran untuk tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp50 juta untuk bisa diselesaikan cara pengembalian kerugian keuangan,? kata Burhanuddin dalam rapat kerja Komisi III DPR, Kamis (27/1/2022).
Burhanuddin menjelaskan, mekanisme tersebut dipilih ebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana dan berbiaya ringan.
Ia pun mencontohkan bahwa mekanisme pengembalian keuangan negara dapat dilakukan pada kasus pidana terkait dana desa.
Namun, ia menegaskan bahwa mekanisme hukum seperti itu hanya berlaku untuk kasus dengan kerugian negara yang tidak terlalu besar dan tidak dilakukan terus menerus.
?Terhadap perkara yang kerugiannya tidak terlalu besar, dan perbuatan itu tidak dilakukan secara terus menerus, maka diimbau untuk diselesaikan secara administratif dengan cara pengembalian kerugian tersebut,? ujar Burhanuddin. (tim)